Brisbane (ANTARA News) - Australia resmi meratifikasi Perjanjian Kyoto setelah Perdana Menteri Kevin Rudd, Senin, menandatangani instrumen ratifikasi yang memberikan jalan bagi negara itu menjadi anggota penuh Protokol Kyoto sebelum akhir Maret 2008. "Ini adalah aksi resmi pertama pemerintah Australia yang baru. Ini menunjukkan komitmen pemerintahan saya untuk menangani perubahan iklim," katanya dalam sebuah pernyataan pers. Peratifikasian Perjanjian Kyoto itu, kata PM Rudd, telah dipertimbangkan dan disepakati oleh pertemuan Dewan Eksekutif Pemerintah Senin pagi. Bahkan Gubernur Jenderal Michael Jeffery telah pun memberikan persetujuannya pada langkah pemerintah atas permintaan dirinya, kata PM Rudd. Di bawah aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ratifikasi Protokol Kyoto itu baru berlaku setelah 90 hari setelah instrumen ratifikasi diterima PBB. "Jadi Australia baru akan menjadi anggota penuh Protokol Kyoto sebelum akhir Maret 2008," katanya. PM Rudd mengatakan bergabungnya Australia ke dalam Protokol Kyoto merupakan "langkah maju yang signifikan" dalam upaya Australia ikut merespon dampak negatif perubahan iklim di dalam negeri dan bersama-sama masyarakat internasional. Dengan keikutsertaan resmi Australia dalam perjanjian ini, Australia berkewajiban memenuhi target seperti mematok target pengurangan emisi hingga 60 persen pada level 2.000 hingga tahun 2050, dan membentuk skema perdagangan emisi nasional pada 2010, katanya. Selain itu, sebagai anggota Protokol Kyoto, Australia diminta mematok target 20 persen untuk energi yang dapat diperbaharui hingga tahun 2020 dengan cara memperluas pemakaian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui secara dramatis, seperti energi matahari dan angin, katanya. Dengan langkah pemerintahan PM Rudd ini, berarti tinggal Amerika Serikat (AS) negara yang tidak ikut menandatangani Protokol Kyoto. Sementara itu, sebelumnya, Direktur Eksekutif Insititut Iklim (CI), John Connor mengatakan Konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) di Bali yang berlangsung selama 12 hari mulai Senin (3/12) merupakan bagian dari kepentingan nasional Australia mengingat negara itu sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. "Seperti ditunjukkan (bencana) kekeringan sekarang ini, Australia memang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Jadi merupakan kepentingan nasional Australia untuk mengambil posisi kepemimpinan secara internasional dengan berkomitmen pada pengurangan gas emisi di dalam negeri secara konsisten," katanya. Laporan hasil analisa ekonomi CI menyimpulkan bahwa Australia dapat mengikuti jejak negara-negara utama dalam menghindari terjadinya dampak terburuk perubahan iklim global maupun resiko-resiko ekonomis yang timbul dari upaya menciptakan ekonomi energi yang bersih di dunia. "Laporan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Australia yang menentukan dalam memotong polusi gas rumah kaca di dalam negeri dapat dilaksanakan," katanya. Laporan CI itu juga menunjukkan, seandainya Australia membalikkan polusinya yang meningkat hingga 2012 dengan mengurangi emisi hingga 20 persen pada 2020 dan menjadi "karbon netral" pada 2050, kegiatan ekonomi negara itu diperkirakan meningkat dari kurang dari satu triliun dolar menjadi tiga triliun dolar hingga 2050. "Untuk tahun 2050, ekonomi (Australia) tumbuh sekitar 2,8 persen setahun dengan peluang lapangan kerja meningkat dari 9,7 juta menjadi 16,7 juta pada 2050 itu," katanya. Dampak jangka panjang terhadap harga bahan bakar (energi) dan tingkat keterjangkauannya pun tetap dapat dikelola dengan pemakaian energi listrik, bahan bakar dan gas rata-rata turun dari enam persen dari rata-rata pendapatan yang ada sekarang menjadi empat persen pada 2050, katanya. Artinya, pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial di Australia layak dilakukan dan sejalan dengan pertumbuhan pendapatan, lapangan kerja, dan standar hidup yang terus berkembang, kata Connor. Terkait dengan UNFCCC di Bali itu, PM Kevin Rudd akan hadir bersama Menteri Perubahan Iklim dan Air, Penny Wong, serta Menteri Lingkungan Hidup, Peter Garrett. Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat yang juga Pegiat Isu Lingkungan Dunia, Al Gore, pun berencana hadir dalam konferensi di Bali yang diharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu menghasilkan keputusan global untuk merespon tantangan perubahan iklim secara signifikan tanpa mengancam upaya-upaya pembangunan itu. (*)
Copyright © ANTARA 2007