Jakarta (ANTARA) - LSI Denny JA menemukan empat fenomena penting yang terjadi di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, pertama angka golput atau orang tidak memilih cenderung menurun dibandingkan pemilu sebelumnya.
"Data dari pemilu ke pemilu pasca-Orde Baru menunjukkan bahwa Pilpres 2019 adalah pilpres dengan partisipasi pemilih paling tinggi. Atau pilpres dengan tingkat golput yang paling rendah," kata peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Dia membandingkan pada Pilpres 2004, golput tercatat sebesar 23,30 persen, di Pilpres 2009 angka golput naik yaitu 27,45 persen, Pilpres 2014 angka golput mengalami kenaikan yaitu di angka 30,42 persen.
Menurut dia, berdasarkan hasil hitung cepat, pada Pilpres 2019, angka golput mengalami penurunan yaitu sebesar 19,24 persen.
Kedua menurut dia, Pilpres 2019 ternyata hanya mengubah 15 persen teritori dari dukungan Jokowi maupun Prabowo di Pilpres 2014.
"Pada pemilu 2014, Jokowi tercatat menang di 23 provinsi di Indonesia. Dan Prabowo menang di 10 provinsi di Indonesia," ujarnya.
Menurut dia, di Pilpres 2019, dari data hitung cepat, Jokowi mampu menang di 21 provinsi dan Prabowo menang di 13 provinsi di Indonesia dengan catatan pada 2019 ada tambahan 1 provinsi yaitu Kalimantan Utara.
Pada pilpres 2019 menurut dia ada 4 provinsi yang pada pilpres 2014 dimenangi Jokowi, kini dimenangkan oleh Prabowo-Sandi yaitu Provinsi Bengkulu, Jambi, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
"Sementara ada satu provinsi yang pada Pilpres 2014 dimenangi Prabowo Subianto namun kini dimenangkan Jokowi-Maruf, yaitu Provinsi Gorontalo," katanya.
Ketiga menurut dia, di Pemilu 2019 menunjukkan ada pembelahan dukungan berdasarkan identitas dan paham keagamaan di sejumlah wilayah.
Dia mengatakan hal itu dibuktikan dengan kemenangan mutlak Jokowi di wilayah-wilayah yang merupakan basis pemilih minoritas seperti di Bali, Sulawesi Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Barat.
"Sementara Prabowo-Sandi juga menang telak di sejumlah wilayah yang merupakan basis pemilih Islam seperti di Aceh, Sumatera Barat dan Riau," katanya.
Ardian menjelaskan, keempat, pemilu serentak harus dibayar mahal karena membuat pemlu legislatif (DPR dan DPD) kalah pamor dibandingkan dengan pemilu presiden.
Kesimpulan itu menurut dia berdasarkan bukti bahwa percakapan publik hampir 70 persen didominasi percakapan pilpres, bukti lainnya adalah angka partisipasi publik yang berbeda antara pilpres dan pileg.
Karena itu menurut dia, LSI Denny JA mengusulkan adanya skenario pemilu nasional dan pemilu lokal yang berbeda yaitu itu lima kali pemilu yaitu pemilu presiden, pemilu legislatif nasional (DPR dan DPD), pemilu legislatif lokal (DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota), pemilu serentak gubernur, dan pemilu serentak bupati/walikota.
Menurut dia, Pemilu bupati dan walikota harus dipisah dengan pemilu gubernur untuk menghindari fenomena yang sama ketika pemilu serentak pilpres dan pileg digabung.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019