Jakarta (ANTARA) - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Ika Karlina Idris menyebutkan, pemberitaan mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lebih didominasi oleh kandidat capres-cawapres, timsesnya, parpol dan anggota legislatif.
"Dominasi kandidat, timses, parpol dan anggota legislatif ini sebanyak 60 persen. Hal ini berdasarkan hasil penelitiannya dari Januari hingga Maret 2019," kata Ika saat memaparkan hasil penelitiannya dalam acara Diskusi “Peran Media dalam Pemilihan Umum dan Tantangannya di tengah Era Disinformasi” dalam rangka World Press Freedom Day, di Paramadina Graduate School of Communication (PGSC), Palmerah, Jakarta, Kamis.
Sementara penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu hanya menempati porsi 8 persen pemberitaan media atau kurang dari 10 persen dari 800 berita di tujuh media online.
"Suara warga masyarakat hanya menempati lima pemberitaan. Sebagian besar pemberitaan tidak berdampak pada kehidupan masyarakat dalam kurun waktu tiga bulan ke depan namun memperkaya diskusi publik," kata Ika.
Penelitian dilakukan terhadap 800 berita dari 7 (tujuh) media massa online yakni Kompas.com, Tempo, Vivanews, Merdeka, Okezone dan Sindonews. Penelitian dilakukan terhadap pemberitaan selama masa pemilu berlangsung, Januari-Maret 2019 dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Menurut dia, berdasarkan hasil analisisnya sebanyak 51 persen pemberitaan diperoleh melalui wawancara dengan tatap muka, dan 25 persen melalui peliputan di lapangan.
Sisanya diperoleh melalui konferensi pers, diskusi, siaran pers, percakapan di social media, dan lain-lain. Melihat cara memperoleh berita dan narasumber yang mendominasi, Penyelenggara Pemilu tidak banyak diwawancarai dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang menarik perhatian bagi media massa.
"Mungkin karena kurangnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu atau kurang baiknya komunikasi publik penyelenggara pemilu," jelas Ika yang juga sebagai Ketua Tim Peneliti PGSC.
Ia pun menyayangkan dari 800 pemberitaan di media massa hanya 30 persen yang melakukan verifikasi terhadap pemberitaan.
"Sebanyak 70 persen pemberitaan ditulis tanpa melalui verifikasi kepada narasumber untuk menguatkan angle pemberitaan ataupun yang kontra terhadap angle pemberitaan," ujar Ika.
Dalam memperingati World Press Freedom Day 2019, kebutuhan akan pers yang berkualitas justru semakin mendesak.
"Agar masyarakat dapat berdaya, tentu kita harus lebih dulu memberdayakan pers kita. Salah satu upaya untuk menguatkan kualitas jurnalisme adalah dengan membangun pers yang berdaulat," tuturnya.
Pada produk jurnalisme online, konten didominasi oleh berita ucapan atau hasil wawancara.
"Hampir setiap saat bisa kita temui berita yang akhimya 'dikendalikan' oleh narasumber melalui pendapat, peristiwa, ataupun aksi yang sarat akan sensasi. Politisi, konsultan strategi komunikasi, ataupun pengamat, kini dapat ikut mengontrol narasi dan agenda di media dengan pendapat dan aksi sensasional, yang seringkali kurang berdampak pada kehidupan masyarakat," papar Ika.
Utamanya pada media online, kebutuhan akan konten berita akhimya menjebak pers terseret dalam arus pemberitaan yang dikendalikan oleh pendapat pembacanya.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019