Aturan main sudah ada tetapi masyarakat sebagian belum mengetahui, dan ternyata yang berkembang adalah kembali pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tanpa ada penjelasan lebih lanjut, baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) maupun peraturan KPUSemarang (ANTARA) - Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu Jawa Tengah Doktor Teguh Purnomo meminta KPU dan Bawaslu RI memaksimalkan peranannya, terutama menyebarluaskan aturan mengenai penetapan pasangan calon terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019.
"Aturan main sudah ada tetapi masyarakat sebagian belum mengetahui, dan ternyata yang berkembang adalah kembali pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tanpa ada penjelasan lebih lanjut, baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) maupun peraturan KPU," kata Dr H. Teguh Purnomo, SH., M.Hum., M.Kn. kepada ANTARA di Semarang, Kamis pagi.
Teguh mengatakan bahwa penerapan aturan mengenai penetapan pasangan calon (paslon) terpilih setelah penghitungan final oleh KPU yang dilakukan secara manual dan berjenjang.
"Demikian 'rule of the game' atau aturan mainnya. Akan tetapi, tetap harus menunggu siapa yang memperoleh suara terbanyak. Apalagi, para calon itu sekarang ini saling mengklaim kemenangan," kata Teguh.
Terkait dengan sosialisasi aturan main, Teguh mempertanyakan kenapa sekarang berkembang tafsir atau diskusi perdebatan yang kadang-kadang tidak mengerucut mengenai persyaratan sebagai pemenang dalam Pilpres 2019.
"Saya kira juga bagian dari kegagalan KPU maupun Bawaslu untuk menyosialisasikan aturan main tersebut," tutur Teguh yang pernah sebagai anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah.
Sebelumnya, Teguh mengatakan bahwa Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 menyatakan Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam amar putusan yang dibacakan pada hari Kamis (03-7-2014), Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri atas dua pasangan calon.
"Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, seperti dimaksud Pasal 6A Ayat (4) UUD NRI 1945 tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat lagi," ujarnya.
Ia mengingatkan putusan itu bersifat "erga omnes" berlaku mengikat secara umum bagi semua warga negara dan semua pihak harus menaatinya. Namun, sayangnya materi muatan putusan MK itu tidak dimasukkan dalam Pasal 416 Ayat (1) UU No. 7/2017 tentang Pemilu, tetapi dimasukkan dalam PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Dengan begitu, katanya lagi, menurut aturan main penetapan pemenang Pilpres 2019 yang hanya diikuti dua pasangan calon mesti merujuk Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 yang keberlakuannya setara dengan undang-undang (UU).
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019