Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai pernyataan yang menyebutkan bahwa hasil jajak pendapat dan penghitungan cepat (quick count) dalam proses pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, berpotensi melahirkan konflik terlalu berlebihan. "Konflik tidak berasal dari `quick count`, tapi dari konstelasi politik. Ada atau tidak ada `quick count` tetap tegang, kalau dasarnya sudah ada persaingan," kata Qodari di Jakarta, Kamis. Qodari mengemukakan hal itu menanggapi adanya kesepahaman dalam rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Pemilu bahwa hasil jajak pendapat tidak boleh dipublikasikan pada masa tenang dan hasil "quick count" ditunda pengumumannya setelah ada pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Daerah (KPUD). Menurut sejumlah anggota Panja RUU Pemilu, hasil jajak pendapat dan "quick count" berpotensi mempengaruhi pilihan rakyat dan berisiko memancing konflik. Qodari menyatakan, jika para calon yang bersaing beserta pendukungnya bisa secara dewasa menyikapi hasil jajak pendapat dan "quick count", maka tentu tidak akan menjadi persoalan. "Kalau dasarnya tidak bisa dewasa, jangankan hasil "quick count", hasil KPU pun tentu juga akan dilawan," katanya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani, menilai wacana pelarangan publikasi hasil survei dan "quick count" lebih didasari kekhawatiran kalangan politisi. "Ini logis karena menyangkut persoalan kalah-menang. Ini pasti dari pihak-pihak yang banyak kalah," katanya. Menurut Saiful, argumen yang digunakan untuk mendukung pelarangan lebih banyak didasari asumsi daripada fakta, misalnya soal hasil jajak pendapat akan mempengaruhi pilihan rakyat. "Survei itu tidak membentuk perilaku pemilih, tapi gambaran yang terjadi di masyarakat. Kalau aturan dibuat atas dasar asumsi, gosip, malah bisa menjerumuskan," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007