Jakarta (ANTARA News) - Paguyuban Reog Ponorogo Indonesia meminta pemerintah Malaysia untuk meluruskan kesenian "Barongan" karena dinilai telah menjiplak kesenian tradisional tanah air, Reog Ponorogo.
"Kami meminta pelurusan itu, dan sudah disampaikan pula melalui surat yang ditujukan kepada Pemerintah Malaysia," kata Ketua Paguyuban Reog Ponorogo Indonesia, Begug Poernomosidi, dalam konferensi pers-nya seusai menggelar aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Malaysia di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, pengklaiman Reog Ponorogo itu sudah melecehkan, padahal kesenian tradisional khas Jawa Timur tersebut merupakan aset Indonesia yang perlu dilestarikan dan dipelihara.
Selain itu, kata dia, di dalam Barongan juga sudah melakukan pengubahan sejarah dari Reog Ponorogo, karena menceritakan Nabi Sulaeman.
"Reog Ponorogo sendiri berkisah tentang Prabu Sewondono yang hendak melamar Dewi Songgolangit. Cerita itu saat zaman Kerajaan Kediri," katanya.
Jika Malaysia mengklaim bahwa kesenian Barongan sudah ada sejak 200 tahun, berarti saat itu dalam era Kerajaan Majapahit karena area kekuasaannya mencapai wilayah Malaysia.
Seharusnya, kata dia, pemerintah Malaysia mengatakan bahwa kesenian itu berasal dari Indonesia, seperti halnya dengan Barongsai yang berasal dari China.
"Kitapun menyebutkan bahwa kesenian Barongsai berasal dari China, bukan dengan cara mengklaim asal Indonesia. Demikian pula seharusnya dengan Malaysia," katanya.
Sebelumnya dilaporkan, Sekitar 2000 warga masyarakat, tokoh dan artis Reog Ponorogo, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kedubes Malaysia, di Jakarta Selatan, Kamis.
Aksi itu merupakan bentuk protes atas tindakan Malaysia yang dinilai telah melakukan tindakan plagiat atas kesenian tradisional masyarakat Jawa Timur itu, dalam bentuk kesenian Barongan.
Dalam spanduk yang mengecam pemerintah Malaysia itu, seperti, "Malaysia Plagiat Reog Ponorogo" atau "Stop Penjilakan".
Mereka juga menggelar aksi 50 Reog Ponorogo yang memenuhi ruas Jalan Rasuna Said atau di depan Kedubes Malaysia, sembari diiringi irama gamelan yang nyaring.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007