Jakarta (ANTARA News) - Empat lembaga penyelenggara survei menolak rencana pelarangan publikasi hasil riset terkait pemilihan umum (pemilu) yang digagas Panitia Kerja Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD karena dianggap melanggar hak warga negara untuk berpendapat dan memperoleh informasi.
Penolakan tersebut disampaikan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Lembaga Survei Indonesia (LSI), dan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas di Jakarta, Kamis.
"Kebebasan berpendapat dalam bentuk hasil riset yang merupakan generalisasi dari pendapat masyarakat, termasuk pendapat masyarakat tentang Pemilu, perlu dijamin," kata Sri Budi Eko Wardani dari Puskapol UI selaku juru bicara keempat lembaga tersebut.
Sebelumnya, politisi Senayan dalam rapat Panja RUU Pemilu sepaham bahwa hasil jajak pendapat atau survei tidak dipublikasikan dalam masa tenang karena dianggap berpotensi memengaruhi pilihan rakyat dan berisiko memancing konflik.
Panja RUU Pemilu juga membahas kemungkinan ditahannya pengumuman hasil penghitungan cepat ("quick count") sampai ada pengumuman resmi hasil Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
"Alasan dilarangnya publikasi hasil riset Pemilu pada masa tenang karena dinilai dapat memengaruhi pilihan politik masyarakat adalah tidak tepat," kata Sri Budi saat memberi keterangan pers bersama Suhardi Suryadi (LP3ES), Saiful Mujani (LSI), dan Bambang ST (Litbang Kompas).
Ia mengatakan, riset merupakan kegiatan akademik yang dilakukan dengan standar metodologi yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Sejauh ini, belum ada data dan fakta yang menunjukkan bahwa publikasi hasil riset Pemilu pada saat kampanye atau masa tenang dapat mempengaruhi secara signifikan pilihan politik masyarakat.
Justru, lanjut Sri Budi, beberapa hasil riset menunjukkan bahwa pilihan politik masyarakat umumnya telah terbentuk sejak lama sebagai dampak dari proses sosialisasi dan intensitas kampanye yang dilakukan peserta Pemilu.
"Kami juga meminta Pansus Pemilu melihat
quick count secara proporsional dan obyektif. Hasil
quick count harus dilihat sebagai alat pembanding terhadap hasil resmi KPU," katanya.
Hasil
quick count, katanya, juga penting dalam menjamin kepastian politik setelah pemungutan suara dilakukan dan menunggu hasil resmi KPU. Bagi negara yang berada dalam era transisi demokrasi seperti Indonesia,
quick count juga berperan dalam membangun Pemilu yang berkualitas. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007