Pokoknya begitu ada keputusan presiden ya jalan. Paling cepat pada 2020Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengungkapkan proses pemindahan ibu kota baru dari DKI Jakarta membutuhkan waktu 5-10 taun, dan proses tersebut paling cepat dimulai pada 2020.
"Pokoknya begitu ada keputusan presiden ya jalan. Paling cepat pada 2020," kata Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang PS Brodjonegoro dalam diskusi di Jakarta, Selasa.
"Time-line (jangka waktu) secara bersih kita membutuhkan 5-10 tahun," tambahnya.
Bappenas memiliki dua skema pendanaan untuk pemindahan Ibu kota itu. Skema pertama untuk pemindahan yakni dengan total anggaran Rp466 triliun, dan skema kedua memiliki total anggaran Rp323 triliun.
"Di awalnya kita masih melihat porsi pendanaan dari pemerintah itu 50 persen-50 persen. Tapi porsi pemerintahnya masih bisa dikurangi lagi kalo pemerintah melakukan manajemen aset untuk gedung-gedung pemerintah di Jakarta yang ditinggalkan dan bisa menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," katanya.
Di skema pertama adalah luas lahan yang dibutuhkan 40.000 hektare dengan jumlah penduduk yang bermigrasi ke ibu kota baru mencapai 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif serta pelaku ekonomi dan anggota TNI dan Polri.
Untuk skenario kedua, jumlah orang yang bermigrasi yakni 870.000 jiwa terdiri dari aparatur sipil negara kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif, aparat TNI dan Polri, dan pelaku ekonomi.
"Bedanya skema satu dan dua itu pada jumlah aparatur sipil negara," kata dia.
Dengan demikian, selain dari APBN, pemerintah juga akan mengandalkan pembiayaan dari BUMN, swasta secara langsung, maupun kerja sama dalam bentuk KPBU (Kerja sama Pemerintah-Badan Usaha) untuk pembangunan infrastruktur, fasilitas pendukung komersial serta permukiman,
Terkait wilayah calon ibu kota, Bambang mengatakan salah satu kriteria calon wilayah adalah memiliki risiko bencana alam yang minim. Terdapat tiga wilayah yang dianggap minim risiko bencana di Indonesia antara lain wilayah Pulau Sumatera bagian timur, kemudian seluruh Pulau Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan.
Namun, ujar Bambang, tiga wilayah tersebut belum diputuskan menjadi calon resmi ibu kota baru. Kajian terakhir di tingkat pemerintah adalah baru keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota.
"Kami belum bahas wilayah sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi," ujarnya.
Latar belakang keputusan pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta adalah beban kepadatan penduduk yang dipikul Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi bisnis.
Beban peran ganda itu membuat pusat mobilitas penduduk berhilir ke DKI Jakarta yang menyebabkan ketimpangan antara kemampuan sistem transportasi untuk memenuhi permintaan konektivitas seluruh penduduk di Jakarta dan semua kota penyangga Jakarta.
"Karena padatnya penduduk Jakarta dan tingginya aktivitas ekonomi, luas jalan hanya 6,2 persen dari luas wilayah DKI Jakarta. Idealnya kalau ingin tidak terlalu macet butuh 15 persen terhadap luas wilayah DKI Jakarta. DKI Jakarta juga adalah kota terburuk ke-empat dari 396 kota yang disurvei terkait kondisi 'rush hour' (jam sibuk)," ujarnya..
Selain itu, padatnya aktivitas di Jakarta juga menimbulkan dampak negatif ke lingkungan. Misalnya, DKI Jakarta yang kerap dilanda banjir karena musim penghujan. Salah satu penyebabnya adalah tinggi permukaan tanah yang terus menurun dari permukaan air laut.
"Jakarta itu rawan banjir, permukaan tanah sudah turun rata-rata tujuh sentimeter per tahun. Periode tahun 1989-2007 sudah turun 60 sentimeter dan kualitas air sungai di Jakarta 90 persen sudah tercemar berat," ujarnya.
Namun pemindahan ibu kota ini, kata Bambang, hanya lingkup kegiatan pusat pemerintahan dan bisnis yang mendukung pemerintahan. Sehingga jika terealisasi, Kementerian/Lembaga negara akan pindah ke ibu kota baru itu.
Sedangkan lembaga negara yang menjadi pusat kegiatan keuangan dan bisnis seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, ataupun Bursa Efek Indonesia direncanakan tetap di Jakarta.
"Kita tidak desain ibu kota baru itu menjadi pesaing Jakarta. Contoh Washington DC apakah untuk menyaingi New York tidak?, New York itu pusat bisnis dan Washington adalah pusat pemerintahan," ujar dia.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019