Jakarta (ANTARA) - Kapal perang KRI Tjiptadi 381 pada hari Sabtu (27/4) ditabrak secara sengaja oleh kapal patroli pemerintah Vietnam di Laut Natuna Utara. Provinsi Kepulauan Riau saat kapal perang tersebut sedang berusaha melakukan tindakan hukum terhadap kapal-kapal nelayan asal negara itu yang sedang mencuri ikan di Zone Eksklusif Indonesia (ZEE).
Kapal Vietnam tersebut disebut-sebut sebagai coast guard atau kapal penjaga laut dan pantai milik Vietnam. KRI Tjiptadi sedang berusaha menindak kapal-kapal nelayan itu yang mencuri ikan yang jelas-jelas berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah memergoki pelanggaran hukum tersebut, tentu saja KRI Tjiptadi berhak menindaknya.
Ternyata sebuah kapal milik pemerintah Vietnam berusaha menghalangi sikap tegas KRI Tjiptadi dengan menabrak kapal perang milik TNI AL itu. Akhirnya, Panglima Komando Armada Barat (Armabar) Laksamana Muda TNI Yudo angkat bicara. Laksamana berbintang dua mengeluarkan komentarnya.
Pelanggaran yang dilakukan Vietnam itu, menurut dia, bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Jadi, jelas sekali bahwa intervensi ini adalah untuk yang kesekian kalinya yang dilakukan oleh orang-orang Vietnam. Akan tetapi, kapal coast guard tersebut telah menjadi kasus pertama, sebuah kapal milik Vietnam yang dengan sengaja menabrak kapal milik pemerintah Indonesia yang sedang menjalankan tugas resminya.
Panglima Armada Barat mengakui bahwa kejadian itu tidak merugikan KRI Tjiptadi. Akan tetapi, persoalannya adalah haruskah kasus ini dibiarkan berlalu begitu saja? Masyarakat tentu ingin melihat apakah pemerintah Indonesia berani mengajukan protes keras terhadap Hanoi atas tindakan yang sama sekali tidak patut ini?
Kalau kasus yang dihadapi KRI Tjiptadi ini dibiarkan begitu saja, tanpa adanya protes sama sekali dari pimpinan TNI AL, atau bahkan Kementerian Luar Negeri, bisa saja kasus-kasus ini akan terus berlangsung pada masa mendatang, apalagi dengan skala yang lebih hebat yang pada akhirnya akan merendahkan martabat dan kehormatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apabila kasus ini dibiarkan tanpa adanya protes keras Indonesia, bisa saja negara lain akan mengikuti jejak Vietnam sehingga pada akhirnya benar-benar akan merusak citra Indonesia di mata internasional.
Indonesia memang perlu, bahkan harus menjaga hubungan baik dengan negara-negara tetangganya. Akan tetapi, yang pasti Indonesia harus mengingatkan semua negara tetangganya tanpa kecuali untuk benar-benar menghormati negara dan rakyat Indonesia.
Tegakkan hukum
Rakyat Indonesia sering kali mendengar atau melihat betapa banyaknya negara tetangga yang mencuri ikan di wilayah perairan NKRI. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pasti bicara tentang betapa maraknya kapal-kapal asing yang "semau gue" mencuri ikan. Bahkan, sudah banyak kapal ikan asing yang ditenggelamkan oleh TNI AL.
Namun, karena ada seorang menteri yang "protes" atau tak suka terhadap tindakan keras sang ibu menteri tersebut, akhirnya penenggelaman kapal-kapal pencuri ikan dari segelintir negara tetangga itu dihentikan. Akibat ulah sang pejabata senior itu, akhirnya kasus ditabraknya KRI Tjiptadi.
Pelanggaran oleh kapal nelayan dan pemerintah Vietnam tersebut bisa jadi bukti bahwa Indonesia masih "dianggap enteng" oleh negara–negara lain. Akankah kejadian ini akan terus dibiarkan? Bisa-bisa awak-awak kapal berbagai KRI ataupun kapal milik Kementerian dan Kelautan Republik Indonesia menjadi frustrasi. Haruskah sikap frustrasi ini dibiarkan?
Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan yang amat kaya dengan berbagai jenis ikan yang disukai atau digandrungi konsumen di sejumlah negara. Jadi, sama sekali tidaklah mengherankan apabila banyak orang asing datang untuk mencari ikan, baik secara resmi atau formal maupun mencuri.
Dengan mencuri ikan, nelayan- nelayan asing teresebut tidak usah membayar pajak atau pungutan apa pun. Mereka juga bisa memilih berbagai jenis ikan yang dibutuhkan atau disukainya. Jadi, para pencuri ikan dari berbagai negara tersebut “bebas aktif” mencuri ikan di sini.
Tentu para pejabat Republik Indonesia tidak boleh membiarkan pencurian ikan alias illegal fishing ini jangan terus terjadi. Di satu pihak NKRI akan kehilangan pajak akibat merajalelanya pencurian ikan. Selain itu banyak nelayan Indonesia akan tak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan dari negara-negara lainnya.
Kasus yang dihadapi KRI Tjiptadi pasti tidak boleh dibiarkan terjadi lagi baik oleh KRI-KRI lainnya maupun kapal milik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Musibah KRI Tjiptadi seharusnya menjadi kasus yang terakhir kalinya terjadi yang dihadapi kapal-kapal milik pemerintah Indonesia, baik milik TNI Angkatan Laut maupun kapal milik Kementerian Kelautan dan adalah di perairan Vietnam yang tidak dilengkapi dengan senjata apa pun.
Panglima Armada Barat TNI Angkatan Laut sudah menjelaskan bahwa kasus KRI Tjiptadi maka masyarakat tentu berhak melihat akan adakah protes yang dilancarkan pemerintah Indonesia.
Vietnam bisa saja mengaku-ngaku akan mengklaim bahwa tempat kejadian perkara kasus tersebut. Akan tetapi, di lain pihak TNI AL mempunyai bukti-bukti hukum yang kuat bahwa tempat kejadian perkara (TKP) itu berada di wilayah perairan Indonesia.
Adu argumen antara kedua negara mungkin saja akan terjadi. Namun, sikap tegas pemerintah tetap diperlukan agar kejadian serupa tidak akan terulang.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982 s.d. 2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987 s.d. 2009
Copyright © ANTARA 2019