Pekanbaru (ANTARA) - Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau merancang wisata konservasi di habitat harimau dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling di Kabupaten Kampar.

Kepala BBKSDA Riau Suharyono kepada ANTARA di Pekanbaru, Selasa, mengatakan nantinya akan ada pusat pembiakan rusa di Desa Aur Kuning, satu dari 12 desa yang sudah ada di landskap Bukit Rimbang Baling jauh sebelum pemerintah menetapkan habitat asli harimau sumatera seluas 143 ribu hektare itu sebagai kawasan suaka margasatwa.

Suharyono menjelaskan selanjutnya wisatawan yang mengunjungi Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Baling, yang dikenal dengan keindahan sungai dan hutan hijaunya, bisa mampir ke Desa Aur Kuning untuk membeli rusa dan melepaskannya ke hutan supaya bisa menjadi mangsa harimau.

"Beli rusa bukan buat dimakan, tapi dilepas ke hutan sebagai pengganti pakan harimau," katanya.

SM Bukit Rimbang Baling adalah satu dari delapan kawasan hutan konservasi di Riau yang potensial menjadi destinasi pariwisata berbasis sumber daya alam. Pengembangan wisata di suaka margasatwa itu sejalan dengan upaya Kementerian Lingkungan Hidup menggeser paradigma pemanfaatan hutan ke arah pariwisata.

"Intinya adalah prinsip penyelenggaraan pariwisata alam di kawasan konservasi. Konsep wisata menyesuaikan dengan bentang alam, bukan bentang alam dipaksa menyesuaikan konsep pariwisatanya," kata Suharyono.

BBKSDA Riau berencana menonjolkan kekhasan setiap desa di SM Rimbang Baling guna mendukung pengembangan wisata konservasi.

"Seperti di Desa Terusan ada kerajinan perahu, jadi nanti setiap desa punya spesifikasi sendiri, keunggulan wisata sendiri," katanya.

Pemerintah juga menyetujui pembangunan jalan interpretasi di SM Rimbang Baling. Suharyono mengatakan jalur intrepertasi akan dibangun tidak dengan menebang pohon dalam pembuatannya.

Ia menjelaskan jalan itu nantinya bukan jalan beton dan aspal, paving, sehingga air tetap bisa mengalir. Jalan itu akan dibuka dari Desa Tanjung Belit hingga Pangkalan Serai yang merupakan desa paling ujung di hulu yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat.

Jalur interpretasi, ia melanjutkan, juga berfungsi sebagai jalur evakuasi karena selama ini warga sekitar hanya bisa mengandalkan jalur transportasi sungai.

Jalur interpretasi rencananya berupa jalan selebar satu meter dengan panjang 38 kilometer yang menghubungkan 12 desa di kawasan itu, dan hanya boleh dilalui kendaraan roda dua.

Suharyono mengatakan sudah ada komitmen masyarakat untuk menjaga agar jalan itu tidak disalahgunakan, dan BBKSDA Riau sudah mengadakan pelatihan untuk pembentukan polisi adat semacam pecalang di Bali.

"Jadi polisi adat nanti bukan berarti membawa senjata, yang berlaku nanti hukum adat," ujarnya.

Menurut dia, proyek perencanaan fisik jalur interpretasi itu sudah dikerjakan oleh Pemerintah Kabupaten Kampar dan pembangunannya bisa dilakukan menggunakan dana desa.

"Jadi itu keinginan masyarakat desa," ujarnya.

Baca juga:
Puluhan Trenggiling dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Rimbang Baling
Polisi tangkap pelaku perambah hutan lindung Riau

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019