Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan kota padat penduduk seperti DKI Jakarta membutuhkan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang dilengkapi zona khusus untuk rumah rakyat.

"Problem yang dihadapi kota-kota besar adalah semakin derasnya laju urbanisasi, bahkan data menunjukkan 68 persen penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di perkotaan tahun 2025," kata Soelaeman di Jakarta, Senin.

Berbicara dalam pelatihan dan penyusunan RDTR dan peraturan zonasi yang diselenggarakan Ikatan Ahli Perencana, Soelaeman mengatakan pengembangan kawasan perkotaan ke depan perlu direncanakan lebih adil bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terutama menyangkut penyediaan rumah layak huni.

"Salah satu cara dengan memastikan adanya zona khusus untuk rumah rakyat di dalam RDTR yang sebagian besar sedang disusun masing-masing pemerintah daerah," kata Soelaeman.

Mengutip data dari Bank Dunia, Soelaeman menjelaskan 1 persen laju urbanisasi baru mampu meningkatkan 4 persen PDB per kapita masyarakat Indonesia. Padahal di negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam, 1 persen laju urbanisasi dapat mendorong 7 sampai 8 persen PDB per kapita penduduknya.

"Jadi, rencana tata ruang perkotaan ke depan harus memberikan keberpihakan dan kepastian bermukim untuk MBR dan kaum miskin kota. Harus ada inovasi seperti zona perumahan rakyat dalam RDTR terutama di kot-kota yang menjadi sasaran urbanisasi," ungkap Soelaeman.

Menurut dia, keadilan tata ruang seperti zonasi perumahan rakyat ini juga dapat membendung terjadinya
urban sparwl (penyebaran penduduk yang tidak terkendali) sampai ke pinggiran kota.

"Fenomena seperti ini telah terjadi di Jakarta, dalam artian warga yang tergolong MBR dipaksa tinggal jauh dari pusat kota sehingga menyebabkan kemacetan, polusi, ketidakefisienan dan biaya transportasi yang mahal," katanya.

Dengan adanya zona perumahan rakyat dalam RDTR, ungkap Soelaeman, diyakini akan memberi akses lebih luas bagi MBR untuk memiliki rumah di dekat atau di tengah pusat kota seperti yang sudah diterapkan di banyak negara.

“Kalau sudah ada zona khusus untuk rumah rakyat di dalam detail tata ruang, maka harga tanah di situ akan terkontrol, demikian juga pajak bumi dan bangunannya. Swasta boleh saja masuk, tetapi dia harus membangun rumah untuk MBR di situ, tidak boleh komersial,” tegas Soelaeman.

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), hingga Maret 2019 baru 52 Perda RDTR yang sudah rampung dari 1.383 Perda RDTR yang seharusnya disusun di seluruh kota se-Indonesia. Realisasi itu masih sangat rendah sekali, padahal RDTR merupakan acuan pembangunan kota.

Kontrol Lahan
Keberadaan zona khusus rumah rakyat di dalam RDTR diyakininya akan efektif membantu Program Sejuta Rumah (PSR) yang sedang digiatkan pemerintah baik dari sisi permintaan atau kebutuhan masyarakat maupun penyediaan (pasokan) dari pengembang.

Sebab dengan zona khusus yang harga lahannya terkendali, maka pengembang rumah subsidi yang selama ini kesulitan mencari lahan terjangkau di dekat kota akan sangat terbantu.

Namun sukses atau tidaknya pengembangan zona khusus ini, menurut Soelaeman, sangat tergantung kepada dua syarat yakni pemerintah harus mendukung penuh pembangunan infrastruktur kawasan zona khusus rumah rakyat dan syarat kedua pemerintah daerah harus tegas melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan lahan di zona tersebut.

“Kontrol pemerintah daerah penting sekali. Artinya kalau di zona itu khusus rumah MBR, maka tidak bisa dijual misalnya kepada pengembang rumah komersial. Harus tegas sesuai peruntukkannya, ada law enforcement di situ,” ujar Soelaeman..

Ketua IAP DKI Jakarta Dhani Muttaqien mengungkapkan pelatihan tersebut dilakukan selama tiga hari dari 24-26 April 2019 yang diikuti puluhan perencana kota (planner) dari Jakarta dan Jawa Barat.

Pelatihan ini melibatkan pemateri dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan Provinsi DKI Jakarta, akademisi dan praktisi termasuk dari REI.

Pelatihan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kompetensi para perencana kota dalam penyusunan RDTR. Apalagi, banyak kawasan perkotaan yang belum memiliki Perda RDTR yang dapat menimbulkan ketidakpastian usaha di berbagai sektor.
Baca juga: Zonasi tata ruang lautan dan daratan dinilai layak diintegrasikan
Baca juga: REI Sumut yakin target pembangunan 30.000 rumah MBR terealisasi
Baca juga: Tingkatkan kunjungan wisata, Asita-REI Sulsel berkolaborasi

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019