Surabaya (ANTARA News) - Apa yang terbayang dalam benak puluhan anak-anak dari tujuh negara saat berkunjung ke "Rumah Kompos" di sisi barat Taman Flora, Bratang, Surabaya? "Cara yang dilakukan cukup baik, karena itu saya ingin mengelola sampah seperti itu di rumah untuk mengurangi jumlah sampah," kata peserta CCCC dari Australia, Lachlan Ward. Ia mengemukakan hal itu kepada ANTARA News di sela-sela kunjungan "Rumah Kompos" di UPDK (Usaha Pengelolaan Daur Ulang Kompos) Bratang milik Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya (27/11). Kunjungan ke Rumah Kompos itu diikuti sekitar 40 dari 220 anak dari tujuh negara yang menjadi peserta "Children Conference on Climate Change (CCCC)" atau Konferensi Anak-anak untuk Perubahan Iklim di Surabaya pada 26-30 November. Namun, pelajar Australia yang sudah 1,5 tahun bersekolah di SMP `Canggu Community School` di Bali itu melontarkan kritik tentang proses pembuatan pupuk kompos dari sampah yang dipelajarinya. "Sampah yang dijadikan pupuk kompos di sini (Rumah Kompos) terlihat masih banyak plastiknya, kenapa ada plastik dalam bahan organik yang akan dijadikan pupuk," katanya, bernada tanya. Keinginan untuk mempraktikkan pelajaran membuat kompos itu juga dikemukakan Anna Tirsa Fonataba dari SMP YPC "Kuala Kencana" Timika, Papua. "Saya sudah pernah mendapatkan pelajaran tentang pembuatan pupuk kompos di sekolah," katanya. Tapi, katanya, dirinya senang, karena dia mendapat wawasan baru dari narasumber dan teman-teman dari berbagai negara bahwa sampah yang dikelola secara baik akan dapat mengurangi "global warming" (pemanasan global). Oleh karena itu, kata pelajar kelas 8 SMP itu, dirinya pasti akan mempraktikkan apa yang diperoleh tentang pembuatan pupuk dari sampah, namun caranya mungkin lebih sederhana. "Kalau di Surabaya mungkin perlu alat, tapi kalau di Papua bisa lebih sederhana, karena di Papua masih banyak lahan kosong yang dapat dijadikan media an-aerob untuk menanam sampah menjadi pupuk," katanya. Petisi Iklim Pelajar SD dari Malaysia, Sulaiman, juga mengaku senang mengikuti CCCC di Surabaya, karena konsep yang ditawarkan cukup menyenangkan yakni belajar sambil bermain. "Saya agak sulit berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, tapi saya senang, karena saya dapat belajar sambil bermain. Kalau acara yang sama di negara lain selalu belajar di ruangan," katanya. Namun, katanya, konferensi di Surabaya justru menggabungkan konsep `indoor` dan `outdoor` yang menyenangkan. Mengenai konsep indoor-outdoor itu, Humas LSM Tunas Hijau, Nizam Wisnu Ardhika, selaku penyelenggara mengatakan CCCC yang berlangsung di Taman Flora (Kebun Bibit) Bratang, Surabaya, kegiatan itu memang dimaksudkan untuk menyambut Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada 3-14 Desember. "CCCC sendiri diikuti 220 anak dari tujuh negara yakni anak-anak dari Rusia, Australia, Srilanka, Haiti, Kamerun, Malaysia, dan Indonesia. Anak-anak yang berusia 10-14 tahun itu akan merumuskan Petisi Anak-anak untuk Perubahan Iklim yang akan dibawa ke Bali," katanya. Menurut dia, ratusan anak-anak itu dibagi dalam lima kelompok yang masing-masing berjumlah 40-45 anak yakni kelompok Trees, Water, Air, Ozon, dan Bioenergy. "Anak-anak itu umumnya senang, karena CCCC di Indonesia tidak seperti di negara lain, sebab kegiatan yang dilakukan bukan hanya `indoor` seperti pelatihan dan `workshop`/seminar, tapi juga ada kegiatan `outdoor`," katanya. Kegiatan `outdoor` yang dilakukan antara lain ke UPDK Bratang, Technopark Kebun Bibit Bratang, kampung ekologis di Jambangan, TPA Benowo, Kali Surabaya, Pantai Kenjeran, serta `city tour` ke Gresik, Malang, dan Mojokerto untuk melihat peran sekolah dalam penanganan lingkungan. "Karena itu, kami mengundang anak-anak dari sekolah yang mempunyai proyek penyelamatan lingkungan, seperti anak-anak di Malang yang memiliki album bertema lingkungan, anak-anak di Sumbawa yang aktif mengampanyekan penyelamatan telur penyu, atau sekolah serupa lainnya," katanya. Secara terpisah, perintis UPDK Bratang, Surabaya, M Toha, kepada ANTARA Surabaya mengaku senang dengan pemahaman yang baik dari anak-anak tentang pengelolaan sampah menjadi barang yang tak merusak lingkungan, tapi justru ada nilai jualnya. "Kalau ada yang mengeritisi bahwa sampah organik di sini masih bercampur plastik, saya kira hal itu karena mereka mengikuti proses pembuatan pupuk kompos di sini secara singkat, padahal ada proses yang belum tersampaikan yakni proses pengayakan (penyaringan), tapi hal itu justru menunjukkan bahwa mereka paham dan peduli pada lingkungan," katanya.(*)
Pewarta: Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007