Jakarta (ANTARA News) - Apa yang terjadi bila sejumlah penderita HIV/AIDS mencurahkan isi hati dan pengalamannya dalam panggung teater? Totalitas peran dan dialog spontan sekaligus mengharukan pun terlontar sehingga mengundang simpati dan kekaguman atas upaya mereka mempertahankan hidup dari penyakit mematikan itu. Begitulah kesan yang tertangkap dari pementasan teater bertajuk "Senandung ODHA dan OHIDA" di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa malam (27/11), dalam rangkaian peringatan Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember. ODHA merupakan akronim "Orang Dengan HIV/AIDS" sedangkan OHIDA singkatan dari "Orang yang Hidup dengan ODHA". Kedua istilah itu dipakai pemerintah dan LSM yang peduli pada penanganan masalah HIV/AIDS. "Senandung ODHA dan OHIDA" yang diperankan sejumlah gay, waria, dan relawan, bercerita tentang kehidupan sebagian besar masyarakat yang terinfeksi HIV/AIDS di sebuah kerajaan "Oportunistik". Suatu hari pada tanggal 1 Desember 2007, kerajaan itu memperingati Hari AIDS Sedunia dengan mengundang sejumlah delegasi yang terdiri dari para ODHA Berdaya yakni para penderita HIV/AIDS yang tidak patah semangat dan mampu berprestasi. Mereka menyampaikan berbagai cerita yang mereka lihat dan rasakan. Dalam dua jam pertunjukan terdapat enam cerita yang secara bersambungan "dijahit" oleh dua narator. Cerita pertama tentang seorang anak perempuan yang disingkirkan keluarga akibat AIDS yang dideritanya. Pada bagian ini para pementas ingin menunjukkan sebuah kenyataan pahit bahwa keluarga yang sebenarnya merupakan bagian terdekat bagi seorang anak ternyata justru melakukan diskriminasi dan menganggap penyakit yang diderita anaknya itu sebagai aib. Sementara di bagian berikutnya salah satu delegasi menceritakan tentang seorang waria penderita HIV yang datang ke puskesmas untuk minta keringanan biaya berobat. Alih-alih mendapat bantuan, si waria ini dengan kasar diminta mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu lebih dulu di kelurahan. Ternyata lurah minta uang pelicin agar surat itu segera keluar. Peni dan Ovan yang menjadi narator tampak komunikatif dalam menuturkan pesan-pesan seputar HIV/AIDS. Istilah-istilah khusus yang jarang dipahami orang awam terhadap HIV/AIDS mereka jelaskan secara gamblang. Ovan menjelaskan apa arti dari HIV/AIDS, juga bagaimana cara mengikuti tes HIV/AIDS di rumah sakit. Sedangkan lewat adegan seorang istri yang suaminya terkena HIV, Peni menyampaikan pesan,"Perempuan yang menjadi ibu rumah tangga tidak boleh berdiam diri di rumah, ia juga harus tahu apa itu HIV/AIDS sehingga kalau suaminya terkena penyakit ini maka dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan." Sutradara Lena Simanjuntak mengungkapkan misi dari pementasan itu memang berbeda dibandingkan kelompok teater pada umumnya. Pada pementasan ini misinya adalah sebuah kampanye tentang pentingnya menghilangkan stigma di masyarakat terhadap ODHA dan OHIDA. Pementasan itu juga mengajarkan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan dalam masyarakat, serta bagaimana seharusnya peran pemerintah dan media dalam menangani penderita HIV/AIDS. Lena memberikan kebebasan kepada para pemain untuk menuliskan isi ceritanya karena mereka yang mengalaminya. "Saya tidak menulis naskahnya sendiri," kata Lena yang kini menetap di Jerman bersama keluarganya. Langkah Lena tidak salah karena dari pementasan itu terlihat setiap pemain menjiwai sepenuh hati. Beberapa pemain bahkan sampai menitikkan air mata ketika adegan seorang waria dipukuli hingga tewas hanya karena dia penderita HIV/AIDS. Rasa sedih dan mengharu biru juga terasa ketika adegan yang menggambarkan seorang ODHA tak tertolong jiwanya karena tidak punya uang untuk membeli obat. Kondisi menyedihkan itu diperparah sikap masyarakat yang tidak bersahabat dan turut melakukan diskriminasi. "Itulah gambaran yang kami alami, yang ada di sekitar kami. Sebuah stigma dan diskriminasi yang ingin kami hapuskan," kata seorang pemain, Awan. Berbeda Menyimak teater ini terasa berbeda dengan menonton teater umumnya yang menonjolkan segi artistik dan dialog yang panjang-panjang. Dalam pementasan teater "Senandung ODHA dan OHIDA" itu tata panggungnya minimalis, pencahayaan tidak terlalu banyak menggunakan efek. Semua pemain berada di panggung dan maju bila tiba giliran tampil. Kostum pemain sederhana yakni kaos dan celana panjang hitam, dipadu kain batik yang dililitkan di bagian pinggang hingga menjulur ke lutut. Dialog yang ditampilkan lugas, tidak menggunakan kalimat yang berbunga-bunga atau kiasan. Mereka mengungkapkan dengan apa adanya, disertai dengan improvisasi. Beberapa kali terjadi kesalahan kecil karena lupa kalimat yang harus disampaikan. Meski demikian, pertunjukan mereka menuai pujian dari para penonton yang sebagian besar adalah para sutradara teater, pekerja seni teater, pekerja seni tari, dan mahasiswa. Seorang dosen Universita Indonesia Riris K Toha mengungkapkan rasa haru untuk para penampil. "Kalian menunjukkan peran yang natural, tidak hanya berteater, tetapi yang saya rasakan ini adalah sebuah terapi bagi diri kalian," ujarnya. Komentar senada diungkapkan Direktur Gedung Kesenian Jakarta, Marusya Nainggolan. "Saya kagum dengan tekad kalian untuk mengkampanyekan upaya penghapusan diskriminasi dan stigma di masyarakat. Ini memang sangat penting untuk disuarakan, dan kalian telah memilih saluran yang tepat yakni melalui kesenian," katanya. Marusya mengungkapkan kesenian adalah bentuk komunikasi yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan, visi dan misi. Kesenian merupakan salah satu cara untuk saling berbagai, tidak saja antara sesama ODHA dan OHIDA, tetapi juga saling berbagi dengan masyarakat. Sementara itu Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nafsiah Mboi mengatakan Surya Community dalam upaya penanggulangan AIDS telah melakukan sebuah terobosan baru dengan memilih jalur kesenian untuk metode menyampaikan pesan, untuk mengekspresikan diri, dan sekaligus mengobati diri sendiri. Surya Community Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, Surabaya, adalah pihak yang menyelenggarakan pementasan teater itu bersama kelompok Gaya Nusantara (organisasi kaum gay), Kelompok Kerja Berdaya, Perwakos (Persatuan Waria Kota Surabaya), dan sejumlah individu yang peduli. (*)
Pewarta: Oleh Desy Saputra
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007