Jakarta (ANTARA News) - Perubahan iklim pada tingkat tertentu sudah terjadi dan tidak dapat dielakkan, oleh karena itu perlu ada protokol khusus yang mengatur upaya-upaya seluruh negara untuk melakukan adaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut. "Dampak perubahan iklim sangat luas dan beragam, dan daya adaptasi setiap negara terhadap perubahan iklim tersebut tidak sama. Oleh karena itu perlu protokol khusus yang mengatur adaptasi tersebut," kata ilmuan senior Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor, Dr. Daniel Murdiyarso, dalam sebuah lokakarya mengenai Kepemimpinan dan Perubahan Iklim di Jakarta, Senin. Ia menyatakan, adaptasi terhadap perubahan iklim butuh biaya besar dan upaya inovatif yang melibatkan kemajuan teknologi, maka seluruh negara, terutama negara maju dan kaya harus dilibatkan. Ia menjelaskan, masalah perubahan iklim sudah menjadi agenda pembangunan seluruh negara terutama setelah ditetapkannya protokol mitigasi dampak perubahan iklim yaitu Protokol Kyoto pada tahun 1997. Protokol Kyoto merupakan konsensus untuk mengurangi (mitigasi) laju perubahan iklim dengan mengurangi emisi (pelepasan) gas rumah kaca (gas-gas yang menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi, antara lain karbon dioksida/CO2) ke atmosfer, terutama oleh negara-negara maju, sedikitnya lima persen dari level emisi pada tahun 1990. Upaya mitigasi belum berhasil dan perubahan iklim terus terjadi, yang belakangan ini semakin terasa dengan fenomena perubahan pola curah hujan di berbagai negara dan badai tropis (topan) yang semakin sering menimpa Bangladesh. Yang terbaru, badai yang melanda Bangladesh pada pertengahan November lalu menghancurkan tiga kota pantai, menewaskan lebih dari 500 jiwa dan memaksa lebih dari 3,2 juta jiwa mengungsi. Karena perubahan iklim tidak bisa dihindari, maka perlu upaya-upaya adaptasi, namun kata Murdiyarso, hingga kini belum ada kemajuan yang berarti dalam hal upaya adaptasi tersebut. "Apakah karena negara-negara miskin yang lebih banyak terkena dampak dari perubahan iklim tersebut (sehingga upaya adaptasi belum diutamakan)," katanya dengan nada bertanya. Murdiyarso menyarankan, dampak dari perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan, pulau-pulau yang tenggelam karena kenaikan permukaan laut, perlu didokumentasikan, untuk dijadikan dasar menyusun protokol adaptasi perubahan iklim, sebagaimana Protokol Kyoto. Terkait dengan pertemuan PBB mengenai penanganan perubahan iklim di Bali pada 3-14 Desember 2007, isu protokol adaptasi tersebut menjadi penting. Sebelumnya pada pertemuan yang dihadiri sekitar 150 peserta dari 30 negara, termasuk Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengungkapkan bahwa dalam pertemuan di Bali diharapkan disepakati The Bali Roadmap, yang merupakan kesepakatan global untuk mengatasi perubahan iklim. Namun dalam pertemuan tersebut sedikitnya empat topik yang akan mendapat perdebatan yaitu upaya mitigasi, adaptasi, transfer teknologi serta pembiayaan dan investasi. Dalam kerangka adaptasi, diharapkan ada dana adaptasi (adaptation fund) yang akan digunakan membiayai sejumlah proyek yang konkrit dalam hal adaptasi. Selain itu, negara maju wajib mendorong, memfasilitasi dan mentransfer teknologi yang berwawasan lingkungan. Pertemuan tersebut merupakan sesi internasional dari sekitar 150 orang peserta pelatihan di bidang lingkungan dan pembangunan yang diorganisir oleh Lead International. Para peserta berasal dari berbagai latarbelakang pendidikan dan pekerjaan, dengan tujuan mempromosikan kepemimpinan dalam pembangunan yang berkelanjutan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007