Oleh Edy Supriatna SjafeiMakkah (ANTARA News) - Jangan tanya di mana lokasi Pasar Seng kepada warga Makkah, apa lagi kepada para polisi atau askar setempat, karena memang tempat belanja di samping Masjidil Haram itu tak ada di peta kota suci bagi umat Islam tersebut. Cobalah cari di peta kota Makkah, walau dengan mata melotot pun tidak bakal dijumpai pasar dimaksud. Tapi, cari di sisi Masjidil Haram, maka di situ --yang kebanyakan berdiri pertokoan dan pedagang gaya kaki lima-- bercokol Pasar Seng. Tapi, lagi-lagi, jangan tanya kepada pedagang bahwa apakah benar kawasan keramaian itu merupakan Pasar Seng. Mereka menolak sebutan itu. Pasar di muka Pintu Marwah Masjidil Haram itu memanjang sekitar 100 meter itu oleh warga Indonesia dinamai Pasar Seng. Orang Arab sendiri, atau warga lokal, tak tahu akan penamaan pasar tersebut. Jadi, kaum muslimin yang hendak melaksanakan ibadah umroh atau haji jangan tanya kepada warga lokal. Tanyalah kepada tenaga musiman (yang populer dengan sebutan Temus) dari Indonesia, maka mereka pasti akan paham apa yang dimaksud kawasan Pasar Seng. Apa yang menyebabkan kawasan pertokoan di sisi Masjidil Haram tersebut menjadi dikenal sebagai Pasar Seng oleh Warga Negara Indonesia (WNI)? Ternyata, bagi para Temus bukan hal mudah untuk mendapatkan kepastian asal-muasal pemberian nama tersebut. Hanya saja, masyarakat Indonesia mengenal berbelanja di kawasan tersebut memang harganya relatif "miring", sehingga menjadi tempat favorit untuk membeli barang dan makanan khas setempat. Bahkan, restoran cita rasa Indonesia dapat dijumpai, seperti di kedai "Bakso Si Doel". Pedagang pun bisa diajak tawar menawar dibanding di kawasan Hotel Hilton, yang juga sama-sama berada di sisi Masjidil Haram, yang banyak menjual barang melalui pasar swalayannya. Aiman (28), salah seorang Temus kelahiran Mekkah, mengaku tak tahu kenapa kawasan keramaian tersebut dikenal sebagai Pasar Seng bagi orang Indonesia. Sejak kedua orangtuanya asal Palembang, Sumatera Selatan, bermukim di Mekkah dan kemudian melahirkan dirinya tak pernah bercerita tentang latar belakang sebutan Pasar Seng. "Saya tak tahu itu," katanya. Salah seorang Temus lainnya asal Bandung, Engkos (37), mengatakan bahwa sejak 1995 kawasan keramaian orang belanja di sisi Masjidil Haram sudah disebut Pasar Seng oleh WNI. "Kemungkinan daerah itu disebut Pasar Seng sejak 1980-an," katanya. Tapi, apa latar belakangnya hingga populer dengan sebutan Pasar Seng oleh orang Indonesia. Engkos menduga, yang sumber ceritanya berasal dari Temus berusia lanjut, karena dahulu di kawasan tersebut bangunannya banyak menggunakan atap seng. Oleh karena dinamika pembangunan kota Makkah, maka bangunan dengan atap seng kini sudah tak ada lagi. Namun, tetap saja orang Indonesia berbelanja di Pasar Seng untuk mencari cinderamata untuk keluarganya di tanah air. Tak heran, banyak orang yang hendak menunaikan ibadah haji atau umroh kerap diingatkan oleh orang yang sudah terlebih dulu menjalaninya, agar belanja oleh-oleh atau buah tangan dengan mencarinya di Pasar Seng. "Untuk barang elektronik, jam tangan dan beberapa barang lainnya, lebih murah dibanding belanja di Jakarta," kata seorang Petugas Pelaksana Ibadah Haji (PPIH), yang bertugas di Makkah sejak 10 hari lalu. Ia mengatakan, jika saja sejak di Jakarta sudah memperoleh uang tinggal, jelang ke berangkatan ke tanah suci, tentu barang kegemarannya sudah dibeli di Pasar Seng, seperti kamera dan handphone. Alasannya, belanja di Pasar Seng sebelum banyak jemaah haji dari berbagai negara tiba di Makkah jauh lebih baik. Sesuai hukum pasar, ketika orang yang menunaikan ibadah haji masih sedikit tentu harga akan murah. "Kalau jemaah sudah banyak, saya yakin harganya tentu ada beberapa barang naik harganya," katanya lagi. Tapi, yang jelas, pasar itu kini jadi populer bagi warga Indonesia. Para penjualnya pun pandai menarik perhatian, dan kerap menawarkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang kadang sulit dipahami. Meski demikian, orang yang hendak berbelanja pun maklum. Yang penting, dapat membeli buah tangan dengan harga ringan. Pulang haji, keluarga pun menyambut gembira. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007