Magelang (ANTARA News) - Kekerasan terhadap perempuan tak hanya terjadi di dalam masyarakat urban yang suasana kekerabatannya sudah cair tetapi juga di daerah agraris yang masyarakatnya cenderung tertutup, kata Pengajar Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ari Setyaningrum. "Di wilayah agraris yang semangat kekerabatan masih kuat persoalan kekerasan terhadap perempuan masih lebih dipandang sebagai aib sehingga kalau dibuka maka keluarga yang rugi karena mendapat sanksi sosial, yang disebut mata rantai kekerasan," katanya di Magelang, Sabtu, ketika bedah buku "Surat dari Gunung" terbitan LSM Sahabat Perempuan Magelang. Hingga saat ini, katanya, pegiat masalah perempuan masih banyak terfokus kelompok perempuan yang tinggal di wilayah urban atau kota-kota besar dan kurang memberikan perhatian secara serius persoalan perempuan dalam kehidupan masyarakat agraris. Isu yang diangkat, katanya, sebatas perlindungan perempuan dan anak dari tindakan kekerasan. "Perlindungan terhadap perempuan bukan sebatas mereka bebas dari kekerasan tetapi juga perbaikan ke arah menjadi setara yaitu pengarusutamaan gender," katanya dalam diskusi dengan pembicara lain Budayawan Magelang, Sutanto Mendut, dan pegiat LSM Sahabat Perempuan Magelang, Rita Astuti. Ia mengatakan, di wilayah agraris seperti Magelang masih ada tabir yang menutupi masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk kekerasan dalam rumah tangga. "Tabir yang menutupi itu harus disingkap pelan-pelan," katanya. Karakter kehidupan masyarakat agraris perlu dikenali secara baik melalui pendekatan budaya supaya isu kekerasan terhadap perempuan bisa diangkat guna mendorong kesadaran publik terhadap pentingnya perlindungan perempuan dari kekerasan. Sutanto mengemukakan, kaum perempuan secara diam-diam menyimpan kegelisahan menghadapi kondisi kehidupan Bangsa Indonesia yang kalut. "Mereka diam-diam sedang menyimpan kegelisahan melihat suami, perkawinan, ekonomi, sosial. Perempuan berpikir tentang anak, rumah, sandang, makan. Itu kondisi ibu-ibu secara konkret," katanya. Ia menyebut realitas di media massa, sastra, film, pidato-pidato seperti dalam pilkada, pilgup, dan pilpres sebagai semu. Ia menyebut buku "Surat dari Gunung" yang isinya tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan sebagai dokumen konkret meskipun terkesan sederhana.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007