Jakarta (ANTARA) - Benarkah populasi penduduk dunia yang terus mengalami peningkatan juga membuat seluruh bangsa menghadapi tantangan pemenuhan kebutuhan pangannya sehingga berpotensi memicu krisis pangan pada masa mendatang?
Hal itu setidaknya diucapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam sejumlah kesempatan.
Karena itu, tidak heran pula bila Menteri Susi juga terus-menerus menggalakkan konsumsi ikan di tengah masyarakat.
Apalagi, lanjutnya, ikan merupakan salah satu sumber pangan yang kaya kandungan gizi dan relatif dinilai lebih mudah didapatkan diprediksi akan menjadi rebutan.
Sebagaimana hasil penelitian organisasi pangan dunia FAO, satu dari lima ikan yang dikonsumsi di dunia saat ini berasal dari illegal fishing.
Sementara itu, ujar dia, negara penghasil ikan mulai menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan sumber daya ikan mereka.
Di Indonesia sendiri, pada 2017 untuk memenuhi kebutuhan pangan 265 juta warga negaranya dibutuhkan 12,6 juta ton ikan.
Dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk 0,6 persen dan angka konsumsi ikan 50 kg per kapita, diproyeksikan pada 2045 mendatang, untuk memenuhi kebutuhan 318 juta warga negara Indonesia dibutuhkan 15,9 juta ton ikan.
Untuk itu, Menteri Susi mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan penangkapan yang merusak seperti dengan bom, portas, dinamit, dan setrum.
"Tuhan menganugerahi kita sumber daya ikan yang tidak usah susah-susah pelihara kok dirusak, diambil semena-mena?" ucapnya.
Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak menangkap kepiting, rajungan, dan lobster bertelur dan di bawah ukuran agar dapat berkembang biak di alam.
Berdayakan keluarga petani
Sementara itu, Asisten Dirjen FAO Kundhavi Kadiresan dalam konferensi di Jakarta, 4 April, mendorong negara-negara di Asia Tenggara untuk memberdayakan keluarga petani, yang dinilai memegang peran kunci untuk meningkatkan ketahanan pangan di kawasan.
Menurut Kundhavi, pertanian keluarga berkontribusi paling besar dalam upaya pemenuhan pangan dan gizi masyarakat di seluruh dunia, tepatnya sekitar 80 persen dari makanan global.
Namun, berdasarkan data FAO, banyak keluarga petani sendiri masih mengalami rawan pangan dan dalam kondisi sangat miskin, sehingga dinilai ada tantangan besar bahwa kebijakan perlu dibuat untuk pertanian keluarga dan perubahan iklim, gender, pemuda, dan pekerjaan yang layak.
Oleh karena itu, kata Kundhavi, diperlukan inovasi, akses ke kredit pedesaan - terutama bagi perempuan - dan peningkatan program perlindungan sosial pedesaan untuk membantu keluarga petani di Asia Tenggara meningkatkan mata pencaharian dan ketersediaan pangan.
Menyadari peran penting pertanian keluarga, Majelis Umum PBB telah secara resmi mengeluarkan resolusi yang mendeklarasikan periode 2019-2028 sebagai Dekade Pertanian Keluarga.
Resolusi tersebut mengakui petani keluarga sebagai kunci dalam mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dunia, khususnya dalam menjamin keamanan pangan global, memberantas kemiskinan, mengakhiri kelaparan, melestarikan keanekaragaman hayati, mencapai lingkungan yang lestari, dan membantu mengatasi migrasi.
Banyak negara di dunia telah membuat kemajuan dalam mengembangkan kebijakan publik yang mendukung pertanian keluarga, terutama dalam hal berbagi pengetahuan dan data yang berkontribusi pada tataran dialog dan pembuatan kebijakan dalam mengatasi kebutuhan spesifik pertanian keluarga.
Pemerintah Indonesia juga menyatakan siap mendukung upaya FAO dalam mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan gizi serta kesejahteraan masyarakat Asia Tenggara.
Masa depan ketahanan pangan
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga menegaskan bahwa masa depan ketahanan pangan bukan terletak pada perusahaan-perusahaan besar, tetapi justru berada di tangan jutaan keluarga petani.
"Karena itu penting untuk mengubah paradigma kita. Sudah saatnya petani menjadi fokus utama dari kebijakan dan program di sektor pertanian," ujar Mentan.
Amran mengingatkan bahwa sejak 2014 sudah dilakukan sejumlah terobosan antara lain memfokuskan kebijakan pada upaya pemberdayaan petani.
Terobosan tersebut meliputi mengubah sejumlah peraturan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, pergeseran sistem pertanian tradisional ke pertanian modern, perubahan sistem pengadaan kovensional menjadi elektronik yang menjamin pengadaan input produksi lebih tepat waktu, peningkatan sinergitas dan kolaborasi lintas sektor, modernisasi dan adopsi teknologi, realokasi bantuan untuk kelompok menengah bawah, reformasi agraria, serta manajemen pasar untuk memastikan stabilitas stok dan harga pangan.
Terobosan penting yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementan adalah membuat ulang fokus anggaran. Alokasi anggaran untuk sarana dan prasana pertanian ditambah secara signifikan. Amran mengungkapkan bahwa pada 2014, alokasi anggaran sarana dan prasarana pertanian hanya 35 persen. Tapi porsinya meningkat tajam pada tahun 2018 menjadi 85 persen.
Penambahan pos anggaran sarana dan prasarana pertanian telah berdampak pada meningkatnya bantuan yang diberikan pemerintah kepada petani. Pemerintah juga telah memfasilitasi perbaikan jaringan irigasi serta meningkatkan bantuan pupuk dan benih.
Selain itu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita juga terus mendorong Indonesia dapat swasembada protein hewani yang berarti berbagai kebutuhan hewan ternak untuk dikonsumsi dapat dihasilkan sepenuhnya dari dalam negeri sehingga tidak perlu impor.
Menurut Ketut Diarmita dalam acara Farmer2Farmer 2019 di Jakarta, 5 April, asupan untuk protein hewani juga diharapkan tidak hanya dari daging sapi tetapi juga bisa dari susunya, atau dari aneka ragam hewan lainnya seperti ayam dan domba.
Ia mengingatkan bahwa domba Nusantara pada saat ini juga sudah menembus hingga ke sejumlah pasar internasional seperti ke Malaysia dan beberapa negara di kawasan Timur Tengah.
"Cita-cita kita menjadi lumbung pangan dunia. Untuk itu, peran peternak di seluruh Indonesia sangatlah penting," katanya.
Menurut Ketut Diarmita, berbagai regulasi sudah diperbaiki oleh pemerintah untuk berupaya membantu meningkatkan kesejahteraan peternak.
Infrastruktur terintegrasi
Sementara itu, Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menyebut pembangunan infrastruktur terintegrasi merupakan bukti pemerintahan Jokowi mendukung ketahanan dan swasembada pangan.
Hal itu, kata Henry, dibuktikan dengan pembangunan infrastruktur yang tidak melulu jalan tol, tapi juga pembangunan embung, akses jalan di desa, hingga pembuatan bendungan.
Pembuatan embung dan bendungan merupakan antisipasi pemerintah atas musim kemarau dalam mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan. Selain irigasi, sektor distribusi petani pun diperbaiki dengan penguatan BUMdes, penjualan online, dan akses jalan yang memberikan kemudahan distribusi petani untuk memasarkan hasil produksinya.
Ketua Serikat Petani Indonesia justru mengkritik pihak yang sesumbar tidak mau impor namun tidak memiliki konsep mewujudkan ketahanan pangan dan seperti masih hidup di era Orde Baru.
"Kami cenderung mengkritik pihak yang ingin tidak impor apalagi ingin menciptakan swasembada pangan secara instan, tanpa proses dan justru terlihat meragukan tanpa adanya konsep yang jelas dalam membangun sektor pertanian di Indonesia," tuturnya.
Sedangkan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengapresiasi berbagai program modernisasi alat pertanian dari Kementerian Pertanian yang merupakan upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Pertanian patut diapresiasi atas berjalannya program modernisasi alat pertanian dan juga subsidi benih dan pupuk. Walaupun masih banyak yang masih harus diperbaiki dan ditingkatkan.
Menurut Ilman, ada baiknya saat ini pemerintah mulai fokus untuk mencapai ketahanan pangan nasional, karena kalau semua orang mengonsumsi produk impor, tentunya petani lokal tidak akan memiliki pembeli.
Oleh karena itu, ujar dia, petani lokal perlu dapat dukungan untuk bisa bersaing dengan petani internasional dengan skema program yang dapat membantu mendorong biaya produksi lebih rendah.
Ia mengingatkan bahwa swasembada pangan di Indonesia yang terjadi pada era Orde Baru membutuhkan persiapan selama 15 tahun, yaitu mulai 1969 hingga 1984, dan biaya anggaran yang sangat besar.
Persiapan dan anggaran yang besar hanya mampu mewujudkan swasembada pangan selama kurang dari sepuluh tahun, yaitu pada 1984 hingga 1990. Selain itu, menutup diri dari perdagangan pangan internasional juga meningkatkan risiko kelangkaan pangan di saat bencana, apalagi Indonesia juga merupakan negara yang dikenal memiliki potensi bencana yang sangat beragam.
Petani tujuan akhir
Pengamat sektor pangan dan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menyatakan visi kedaulatan pangan perlu menempatkan kesejahteraan kalangan petani sebagai tujuan akhir sehingga tidak hanya fokus pada jumlah produksi komoditas pangan.
Menurut Said Abdullah, hal yang penting dilihat adalah orientasi pembangunan pertanian pangan itu sendiri, karena selama ini pemerintah dinilai masih memiliki visi misi peningkatan produksi sebagai tujuan utama, dengan asumsi hal tersebut akan turut mengerek kesejahteraan petani.
Namun sayangnya, menurut dia, asumsi itu tidak sepenuhnya benar karena belajar empat tahun terakhir, ketika produksi padi meningkat kesejahteraan petani padi justru stagnan.
Untuk itu, ia menekankan perlunya reorientasi model pembangunan pertanian pangan yang menyasar pada petani sebagai subyeknya sehingga secara otomatis menjadikan pendapatan dan kesejahteraan petani sebagai tujuannya adalah benar perlu dilakukan.
Koordinator KRKP berpendapat bahwa dari rencana kebijakan yang disampaikan belum tergambar dengan jelas instrumen mana yang bisa mendorong itu. kebijakan pada sisi hilir belum cukup kuat terlihat.
Said memaparkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, maka program dan kebijakan yang diutarakan masih ada peluang bisa sektor pertanian berkembang, tetapi perlu penguatan dan kesungguhan untuk menambahkan kebijakan dan program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani terutama di sisi hilir.
Dengan meningkatkan kesejahteraan para pelaku produksi pangan Nusantara mulai dari petani, peternak, nelayan hingga pembudi daya ikan, maka diharapkan Indonesia juga dapat mengantisipasi krisis pangan yang kerap diwacanakan sejumlah pihak akan terjadi pada masa mendatang.
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019