Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Adi Prayitno berpendapat Pemilu 2019 secara tidak langsung dimiliki oleh Partai NasDem karena partai besutan Surya Paloh itu mampu mendongkrak suara di pemilu kali ini.
"Ketika partai-partai lain gagal mendongkrak perolehan suara di Pemilu 2019, perolehan suara NasDem justru melonjak," kata Adi, di Jakarta, Kamis.
Bahkan, sekelas PDIP sebagai partai peraih suara terbanyak ternyata hanya meningkatkan suara sebesar 1 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 2014.
"Suka tidak suka, Pemilu 2019 ini sebetulnya milik NasDem. Dari 2014 yang cuma 6,7 persen menjadi 10 persen berdasarkan penghitungan riil sementara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU)," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini.
Keberhasilan NasDem meningkatkan elektabilitas dalam Pemilu 2019 kali ini tidak terlepas dari kerja keras dan investasi jangka panjang baik dilakukan kader maupun sang Ketua Umum Surya Paloh.
Sejak awal NasDem konsisten menerapkan politik tanpa mahar serta total memberikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut dia, setidaknya ada tiga faktor yang membuat NasDem mampu meraih hasil positif dalam Pemilu 2019. Yaitu sikap politik tanpa mahar, penentuan caleg tiap daerah pemilihan, serta konsistensi NasDem sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi.
"Ini tidak terlepas dari berkah NasDem yang sejak awal menjadikan Jokowi sebagai brand yang terus dijaga NasDem sejak awal. NasDem sama sekali tidak khawatir mengusung Jokowi meskipun berisiko suara pemilih disedot oleh PDIP," tuturnya.
NasDem memang sejak awal serius memenangi Pemilu 2019. Hal tersebut terlihat dengan cara NasDem memilih caleg-caleg berkualitas untuk bertarung di tiap-tiap dapil.
NasDem mengusung caleg yang berpotensi besar menang di tiap dapil. Tidak adanya mahar politik, menjadi magnet bagi para politisi untuk menjadikan NasDem sebagai kendaraan politik mereka.
"Banyak juga caleg yang sukarela pindah ke NasDem untuk maju bersama NasDem. Mulai dari kepala daerah, mantan kepala daerah maupun para caleg petahana dari partai lain. Itu artinya NasDem memiliki satu daya tarik sebagai kendaraan politik di mata politisi," tutur Adi.
Dari 575 caleg DPR yang diusung NasDem, 50 caleg di antaranya petahana. Artinya, kata dia, mereka ialah orang yang telah dipilih pada Pemilu 2014. Sebanyak 15 dan 50 caleg petahana itu juga berasal dari partai lain.
NasDem mendapat setidaknya tujuh caleg petahana dari Hanura, partai yang dilanda konflik internal awal tahun lalu. Selain itu, sejumlah mantan kepala daerah juga maju sebagai caleg dari NasDem.
Sementara itu, Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ikrama Masloman mengatakan para caleg petahana dan mantan kepala daerah yang bergabung ke NasDem memiliki modal sosial besar.
"Mereka terbukti telah lolos ke DPR atau memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebelumnya," katanya.
Ikrama menilai, kampanye "politik tanpa mahar" yang diusung NasDem cukup banyak dibicarakan. Secara tidak langsung mirip dengan program anti-poligami ala PSI atau janji pemberlakuan SIM seumur hidup yang dikampanyekan PKS.
"Program itu, meskipun menuai kontroversi, dipergunjingkan banyak orang jelang Pemilu 2019," katanya.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019