Kota Pekanbaru (ANTARA) - Pengamat Politik dari Universitas Andalas, Syaiful Wahab mengatakan revisi Undang-Undang Pemilu mestinya tetap diperlukan, khususnya yang menyangkut pelaksanaan pesta demokrasi secara serentak.
"Revisi dibutuhkan untuk menekan korban jiwa lagi terkait data yang dihimpun KPU RI hingga Selasa (23/4) sore, jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia mencapai 119 orang dan 548 orang sakit terutama karena kelelahan. Mereka tersebar di 25 provinsi," kata Syaiful dihubungi dari Pekanbaru, Kamis.
Menurut Syaiful, revisi untuk parlement treeshold dan electoral tresshold bisa dilakukan lalu mengapa revisi tahapan pelaksanaan pemilu tidak bisa.
Ini hanya masalah teknis, katanya menyebutkan, dan pada waktu DPR RI merevisi persentase parlement treeshold dan electoral tresshold padahal dulu tidak ada masalah, cuman hanya ingin mengurangi peluang partai-partai gurem untuk terlibat dalam pemilu atau pilpres.
"Lalu kenapa untuk urusan pemilu yang jelas-jelas sudah ada bermasalah seperti ini kok tidak mau merevisi. Itu namanya parlemen kita tidak peka dan tidak berorientasi humanism," katanya.
Sementara itu, ia menyatakan setuju bahwa pemilu memang pesta demokrasi, akan tetapi jangan dikonotasikan dengan hura-hura atau janji-janji palsu dan menghabiskan anggaran.
Ruang demokrasi seharusnya, katanya lagi, bisa dibuka kapan saja dimana saja, bukan hanya pada saat pemilu.
Pemilu hanya proses demokrasi memilih pemimpin politik, sementara ruang demokrasi yang lebih penting dilakukan pascapemilu, sehingga rakyat bisa mengawasi mengontrol dan menyampaikan keluhan tuntutan, transparansi dan akuntabilitas, penegakan hukum dan lainnya.
"Sekarang justru yang pascapemilu yang tidak demokratis, dan ini perlu menjadi catatan buat para elit politik yang terpilih yang kadang-kadang tidak paham dengan proses demokrasi," katanya.
Pewarta: Frislidia
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019