Brisbane (ANTARA News) - Para diplomat Indonesia di KBRI Canberra tetap akan mendekati pihak-pihak terkait di Australia agar memberi bantuan kepada 16 orang Indonesia, termasuk 10 anak-anak, yang kini berada di Pulau Christmas, Australia Barat. Juru Bicara KBRI Canberra, Dino Kusnadi, Jumat, mengatakan, upaya pendekatan terus dilakukan walaupun hingga kini pihaknya belum mendapat penjelasan Kantor Imigrasi Australia tentang identifikasi nama, asal tempat dan maksud pelayaran mereka. "Sepertinya ada rentang waktu yang diperlukan pihak imigrasi (Australia). Proses pemeriksaan (di Pulau Christmas itu) memakan waktu hingga dua minggu," katanya. Dalam pemeriksaan tersebut para petugas imigrasi Australia itu biasanya akan memverifikasi identitas orang-orang yang mereka tahan seperti nama, tempat tanggal lahir, asal tempat, jenis pekerjaan dan motif mereka memasuki wilayah Australia," kata Dino. Meskipun KBRI Canberra mengetahui proses tersebut, KBRI bersama perwakilan-perwakilan RI lainnya di Australia tetap akan mendekati pihak-pihak terkait untuk bekerja sama dalam memberikan bantuan kekonsuleran manakala diperlukan 16 orang tersebut, katanya. Menjawab pertanyaan tentang laporan-laporan media Australia yang menyebutkan bahwa ke-16 orang yang diselamatkan kapal patroli AL Australia setelah perahu mereka tenggelam 21 November lalu di perairan utara negara itu merupakan keluarga nelayan Indonesia asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memasuki perairan Australia atas motivasi ekonomi, Dino mengatakan, informasi tersebut masih harus dikonfirmasi pihak imigrasi Australia yang kini menangani mereka. Sehari sebelumnya, Menteri Perikanan Australia Eric Abetz telah menolak saran agar Canberra membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia terhadap nelayan-nelayan yang menangkap ikan secara ilegal di perairan utara negara itu. Ia mengatakan bukan urusan dia jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumberdaya perikanan Australia. ABC menyebutkan bahwa para nelayan Indonesia dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, termasuk nelayan yang terkena dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan penangkapan ikan secara ilegal. Pemerintah Australia mengeluarkan dana 603 juta dolar Australia untuk menangani pencurian ikan di perairannya. Upaya itu, kata Abetz, telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara negaranya hingga 90 persen. Menteri Pertahanan Australia Brendan Nelson mengatakan ke-16 orang yang berada di perahu naas itu terdiri atas tiga pria, tiga wanita, dan 10 anak-anak. Nelson mengatakan pekerja dari sebuah fasilitas minyak lepas pantai melihat perahu tersebut dalam keadaan bahaya di lepas pantai baratdaya Australia Barat Selasa. Perahu motor patroli HMAS Ararat dan kapal pendarat HMAS Tarakan kemudian menemukan perahu kayu sepanjang sepuluh meter telah tenggelam dan mesinnya patah. Para penumpangnya diselamatkan tanpa mengalami cedera ke kapal AL, katanya. Indonesia dan Australia telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) mengenai akses nelayan tradisional Indonesia ke Ashmore Islands pada November 1974. Sesuai dengan kesepakatan yang kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah sejak berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007