Brisbane (ANTARA News) - Menteri Perikanan Australia Eric Abetz menolak saran agar Canberra membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia terhadap nelayan-nelayan yang menangkap ikan secara ilegal di perairan utara negara itu. Pernyataan tersebut disampaikannya sehari setelah kapal patroli AL Australia menyelamatkan 16 orang Indonesia asal Pulau Rote setelah perahu mereka tenggelam di perairan utara negara itu. Menurut Abetz seperti dikutip ABC, Kamis, bukan urusan dia jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumberdaya perikanan Australia. ABC menyebutkan bahwa para nelayan Indonesia dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, termasuk nelayan yang terkena dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan penangkapan ikan secara ilegal. Pemerintah Australia menggelontorkan dana sebesar 603 juta dolar Australia untuk menangani pencurian ikan di perairannya. Upaya itu, kata Abetz, telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara negaranya hingga 90 persen. Sementara itu, terkait dengan 16 orang Indonesia, termasuk 10 orang anak, yang kapal AL Australia setelah perahu mereka tenggelam di perairan Laut Timor Selasa (21/11), Juru Bicara KBRI Canberra, Dino Kusnadi, mengatakan, pihaknya belum menerima informasi dari Imigrasi Australia tentang identifikasi nama, asal tempat dan maksud pelayaran mereka. "Saya tetap mengikuti prosedur bahwa informasi yang kita tangkap harus dari sumber resmi (imigrasi Australia)," katanya kepada ANTARA. Sesuai dengan peraturan Australia, saat mereka ditemukan dan diselamatkan, mereka kemudian dibawa ke Christmas Island, Australia Barat, sebagai salah satu tempat yang dipakai untuk melakukan pemeriksaan, katanya. Sebelumnya, Pejabat Kekonsuleran Konsulat RI Perth Andi Bestari mengatakan, pihaknya telah mendengar informasi tentang adanya 16 orang penumpang perahu yang diselamatkan kapal AL Australia itu pada 21 November namun petugas imigrasi Australia Barat justru memintanya untuk menghubungi kantor imigrasi di Canberra. Para petugas imigrasi Australia Barat itu enggan bersikap terbuka khususnya tentang bagaimana keadaan ke-16 orang itu, katanya. Menteri Pertahanan Australia Brendan Nelson mengatakan, ke-16 orang penumpang yang berada di perahu naas itu terdiri atas tiga pria, tiga wanita, dan 10 anak-anak. Nelson mengatakan, pekerja dari sebuah fasilitas minyak lepas pantai memergoki perahu tersebut dalam keadaan bahaya di lepas pantai baratdaya Australia Barat Selasa. Perahu motor patroli HMAS Ararat dan kapal pendarat HMAS Tarakan kemudian menemukan perahu kayu sepanjang sepuluh meter telah tenggelam dan mesinnya patah. Para penumpangnya diselamatkan tanpa mengalami cedera ke kapal AL, katanya. Indonesia dan Australia telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) mengenai akses nelayan tradisional Indonesia ke Ashmore Islands pada November 1974. Sesuai dengan kesepakatan yang kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah sejak berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu. Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974 itu, kawasan yang disepakati Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007