Saya harapkan dalam pemilu ke depan kalau bisa selevel mahasiswa atau sarjana yang masih segar-segar sebagai KPPS, karena tidak bisa dipungkiri dalam pemilu kali ini banyak juga yang menjadi anggota KPPS itu mereka yang sudah usia pensiun
Denpasar (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Warmadewa Denpasar Drs I Nyoman Wiratmaja MSi mengusulkan dalam pelaksanaan pemilu ke depan agar lebih mengutamakan merekrut anggota KPPS yang berusia muda untuk meminimalisasi jatuhnya "korban" sakit ataupun meninggal seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
"Saya harapkan dalam pemilu ke depan kalau bisa selevel mahasiswa atau sarjana yang masih segar-segar sebagai KPPS, karena tidak bisa dipungkiri dalam pemilu kali ini banyak juga yang menjadi anggota KPPS itu mereka yang sudah usia pensiun," kata Wiratmaja, di Denpasar, Bali, Rabu.
Menurut dia, dengan usia KPPS yang sudah tidak muda, apalagi ditambah dengan kondisi fisik yang kurang bagus, terlambat makan, tingkat stres yang tinggi dan tidak "balance" penghitungan di TPS, serta terlambat pertolongan, itu menjadi faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya penyelenggara pemilu yang sampai meninggal dunia dan sakit.
Pakar politik dari Fisip Universitas Warmadewa ini berpandangan, generasi muda secara teknis akan lebih bagus cara berpikirnya untuk berhitung.
"Walaupun penghitungannya sampai angka 300, tetapi kalau yang tidak biasa, meskipun dilihat sudah jelas angkanya, tetapi jumlahnya bisa ngawur. Kita tidak tahu apakah kalkulatornya yang rusak atau memang ada pesanan sehingga, misalnya, 2+2 menjadi 10," selorohnya.
Wiratmaja tidak memungkiri norma bagi angggota KPPS itu sudah jelas yakni harus orang berintegritas dan betul-betul rela untuk menegakkan demokrasi. Tetapi praktiknya, beberapa KPPS ada yang dikonstruksi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
"Contohnya sangat omong kosong jika dalam satu TPS, pasangan A mendapatkan suara 100 persen dan yang lainnya nol. Konyol itu dan berarti ada praktik-praktik yang sengaja merusak minimal satu suara saksi," ujar Wiratmaja yang juga sempat menjadi kelompok ahli pembangunan di Pemprov Bali itu.
Oleh karena itu, bagi Wiratmaja, kalau ada yang dalam satu TPS sampai 100 persen suaranya sama, itu bisa diindikasikan ada faktor rekayasa, walaupun itu memang mungkin terjadi. "Patut diduga, begitu ada yang memilih lain, supaya tidak kelihatan belang sehingga dihapus suara yang berbeda dengan merusak surat suara," tuturnya.
Di sisi lain, ke depan juga perlu dipikirkan penambahan sarana prasarana berupa mesin "fotocopy", misalnya. "KPPS juga cukup dibuat lelah menyalin rekapan hasil penghitungan suara yang banyak. Masak tidak berani satu PPS di desa/kelurahan, misalnya, menyewa satu mesin fotokopi," ucapnya.
Demikian juga mungkin perlu dipertimbangkan ada alat bantu supaya pemilih tidak perlu tanda tangan karena pada dasarnya sudah mempunyai "database" KTP elektronik.
"Bagi pemilih lansia, mereka cukup bingung juga harus tanda tangan, meskipun sudah ditunjukkan tempatnya oleh petugas KPPS. Di samping juga akan memakan waktu yang lebih lama di TPS," kata Wiratmaja.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019