Jakarta (ANTARA News) - Mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution membantah ikut menyetujui pencairan dana BI Rp100 miliar untuk membantu proses hukum mantan direksi BI yang terkait kasus dana BLBI dan diseminasi serta pembahasan revisi UU Perbankan tahun 2003.
"Ada dua rapat (Dewan Gubernur BI) mengenai masalah itu. Rapat tanggal 3 Juni 2003 dan Rapat 20 Juli tahun 2003. Keputusan (pencairan dana BI) itu diambil tanggal 3 JUni 2003, saya waktu itu tidak ada di Indonesia, sedang ada di Washington DC (AS)," kata Anwar Nasution yang kini menjadi Ketua BPK, seusai menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) I tahun 2007 kepada Ketua DPD, Ginanjar Kartasasmita, di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Kamis.
Anwar Nasution menjabat Deputi Senior Gubernur BI waktu BI memutuskan pencairan dana Rp100 miliar.
"Saya berangkat ke Washington DC pada 2 Juni dan kembali 9 Juni 2003. Saya tidak paham itu. Yang saya paham rapat yang kedua, tanggal 20 Juli 2003," katanya.
Menurut Anwar, keputusan BI mengalokasikan anggaran Rp100 miliar untuk membantu proses hukum mantan direksi BI yang terkena kasus BLBI dan alokasi anggaran untuk diseminasi serta pembahasan revisi UU Perbankan dilakukan pada rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003.
Jumlah yang dialokasikan Rp68,5 miliar untuk bantuan hukum dan Rp31,5 miliar untuk diseminasi di DPR.
"Saya 'nggak ngerti'. Mengapa harus seperti itu. Baru belakangan di BPK baru tahu detailnya dari auditor BPK. Mengapa harus mengambil uang dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), padahal BI bisa menyediakan uang untuk keperluan bantuan hukum dan diseminasi," katanya.
Karena itu, kata Anwar, pada rapat Dewan Gubernur BI tanggal 20 Juli 2002 dirinya setuju agar dana itu dikembalikan ke YPPI.
"Detailnya saya tidak `ngerti `. Baru saya tahu setelah di BPK dilaporkan oleh auditor Pak Soekoyo ," katanya.
Anwar mengemukakan, menurut UU, kasus ini tidak bisa ditutupi-tutupi. Kalau tidak tidak dilaporkan, maka BPK menyalahi hukum dan didenda sebesar Rp10 miliar.
UU tentang BPK yang ditetapkan DPR mengatur hasil itu.
"Dari mana uang sebanyak itu. Menurut UU BPK itu, kalau ada dugaan yang bersifat pidana wajib hukumnya membuat laporan kepada penegak hukum. Ini yang kita laporkan," katanya.
Akan tetapi sebelum dilaporkan, BPK telah memberi kesempatan kepada BI dan pihak terkait menyelesaikan hal itu.
"Kita punya kuasa memberi kesempatan itu. Jadi kita bukan seenaknya melaporkan langsung ke penegak hukum. Tidak begitu. Kita kasih kesempatan itu. Beberapa kali pertemuan untuk memberi kesempatan. Akhirnya pada Nopember 2006 tidak ada pilihan lagi kecuali kita melaporkan (ke KPK)," katanya.
Anwar menjelaskan, kasus ini menunjukkan tidak adanya perubahan atau perbaikan dan masih melanjutkan KKN.
"Tidak ada perubahan. Jangan cari-cari kambing hitam. Lembaga-lembaga terhormat ini yang perlu kita perbaiki," katanya.
Anwar menegaskan laporannya ke KPK tidak bernuansa politis dan tidak ada unsur mencelakakann orang per orang. Laporan itu didasarkan data yang akurat serta adil dan "fair".
"Tidak ada itu memojokkan seseorang, memojokkan satu pihak. Kita ungkapkan apa adanya. Kita lakukan itu. Ini pilihan sangat berat, terutama untuk saya. Kalau tidak saya laporkan, dimana mata saya di depan auditor. Kalau ini saya endapkan saya menghadapi hukuman yang sangat berat," katanya.
Di sisi lain, kata Anwar, dirinya adalah mantan Deputi Senior Gubernur BI yang dipilih DPR. Karena itu, pihaknya pernah memberi kesempatan kepada pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan ini.
"Saya kira cukup `fair` memberi kesempatan kepada pihak terkait untuk menyelesaikan persoalannya," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007