Jakarta (ANTARA News) - Pengelolaan sumber daya alam migas yang didasarkan pada UU No.22/2001 tentang Migas telah mendorong Indonesia menjadi net oil importer secara permanen, menyusul menurunnya investasi dan penemuan cadangan baru. Hal itu disampaikan pengamat perminyakan yang juga pengajar FE Universitas Indonesia (UI), Dr Kurtubi, dalam seminar "Menuju Paradigma Baru Pengelolaan Migas Nasional" yang diselenggarakan Tim Indonesia Bangkit (TIB) di Ruang GBHN Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan, Jakarta, Rabu. Kurtubi mengemukakan, pola "business to government" (B2G) yang dianut UU tentang Migas terbukti merugikan negara karena "cost recovery" menjadi "tidak terkendali". Kendali hanya dilakukan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (EDM) dan BP Migas tanpa melibatkan Menteri Keuangan sebagai pemegang kendali kekayaan negara. "Investasi eksplorasi sangat rendah, padahal harga minyak yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi investasi migas sejak 1999 terus mengalami trend peningkatan," katanya. Apalagi penjualan migas bagian negara harus melalui pihak ketiga. Hal ini akan mengakibatkan ketidakjelasan aset negara eks Kontrak Production Sharing (KPS) pertambangan sehingga harus dijual. Di sisi lain, penanganan upaya penghentian bencana di bidang perminyakan, seperti blow out (semburan) sangat lamban dan tidak bisa memanfaatkan pengalaman yang telah dimiliki. "Opini `adverse` atas laporan keuangan BP Migas oleh BPK menunjukkan manajemen kekayaan alam Migas nasional harus disempurnakan," katanya. Kurtubi juga mengemukakan UU Migas yang merupakan bagian dari Letter of Intens (LOI) IMF sudah terbukti merusak sistem perminyakan nasional dan sangat merugikan negara. Padahal tingkat harga minyak dunia merupakan insentif ekonomi bagi investor untuk meningkatkan investasi eksplorasi. Sumber daya migas nasional sebenarnya masih sangat besar, yaitu sekitar 86,9 milyar barel, sedangkan gas mencapai sekitar 384 tcf. Menurunnya investasi dan penempuan ladang minyak di Indonesia berbanding terbalik dengan perkembangan di negara lain, baik anggota OPEC maupun non OPEC yang terus meningkat, terutama di Kawasan Afrika Barat dan Asia Tengah. Kurtubi menjelaskan pula mengenai dampak rendahnya investasi eksplorasi, yaitu penemuan cadangan baru nyaris tidak ada. Jumlah penemuan tidak sebanding dengan jumlah pengurasan. Produksi hanya mengandalkan lapangan tua dengan sekitar 1,5 juta barel/hari tahun 1999 menjadi 0,91 juta barel/hari tahun 2007. Meskipun harga minyak terus naik dan faktor geologi yang mendukung, namun produksi dan investasi eksplorasi justru mengalami penurunan sejak 1998. Sebelum tahun 2001, investor lebih bersikap "wait and see" karena DPR sedang merevisi UU tentang Migas. Setelah dilakukan revisi, proses investasi Migas di Indonesia justru lebih panjang dan lebih birokratis. "Investor dibebani kewajiban membayar pajak dan pungutan, meskipun masih pada tahap eksplorasi," katanya, seraya menambahkan selain memberatkan investor, ketentuan itu juga bertentangan dengan KPS yang menjadi dasar kerjasama dengan investor sehingga menimbulkan ketidakpastian. Akibat produksi yang terus menurun, jumlah produksi crude sudah tidak cukup lagi untuk memnuhi kebutuhan BBM. Indonesia pun harus menjadi negara net oil importer, bahkan akan menjadi net importer secara permanen karena pemerintah merencanakan produksi pada tahun-tahun mendatang jauh lebih rendah dari kebutuhan. "Dengan berbagai rencana, tahun 2009 produksi ditargetkan sekitar 1,3 juta barel/hari dan tahun 2015 sekitar 1,2 juta barel/hari padahal untuk tahun 2007 saja kebutuhan crude untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sudah mencapai 1,5 juta barel/hari," kata Kurtubi. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007