Oleh A. Jafar M. Sidik Jakarta (ANTARA News) - Para jenderal sontak murka begitu Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra memutuskan menjual Shin Corp, perusahaan telekomunikasi Thailand, senilai 3,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS) kepada Temasek milik Singapura. Konon, divestasi Shin Corp itulah yang mendorong para jenderal Thailand mengudeta Thaksin. "Saya ingin aset-aset negara dikembalikan, khususnya satelit-satelit telekomunikasi. Semua aset nasional, tak peduli di mana adanya akan selalu menjadi milik Thailand dan rakyat Thailand," kata Jenderal Sonthi Boonyaratkalin, segera setelah ia mengudeta Thaksin, demikian laporan Financial Times dalam satu edisinya. Di Indonesia, pada 19 Nopember 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memvonis Temasek telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut KPPU, Temasek bersalah karena memiliki saham di dua perusahaan yang mempunyai bidang usaha dan pasar yang sama yaitu Telkom dan Indosat. Dua peristiwa mutakhir itu bisa menjadi cermin bahwa lalu lintas modal mesti dicermati lebih saksama karena selain menjadi lokomotif ekonomi pemicu kemakmuran juga bisa mengembangbiakkan perilaku tamak yang menggerogoti fungsi publik perusahaan-perusahaan negara. Majalah Perancis "Le Monde Diplomatique" edisi November 2007 mengupas kecenderungan perilaku tamak akibat dominannya korporasi asing dalam banyak perekonomian nasional itu. Secara khusus, Le Monde membidik firma-firma kelola artha (fund management) berskala global. "Seiring kian mengerikannya horor globalisasi, satu model kapitalisme baru yang lebih brutal sedang mencabik-cabik sistem perekonomian global," tulis Ignacio Ramonet, jurnalis dan penulis Spanyol yang menjadi Pemimpin Redaksi Le Monde. Wujud baru itu adalah perusahaan-perusahaan pengelola modal yang oleh ekonom Perancis Frederic Lordon disebut "predator" atau pemangsa. "Para predator" yang diam-diam mengendalikan perekonomian global itu di antaranya Grup Carlyle, KKR, Grup Blackstone, Colony Capital, Apollo Management, Cerberus Partners, Starwood Capital, Grup Texas Pacific, Wendel, dan Euraze. Antara 2002 dan 2006, mereka mengelola dana 135-515 miliar dolar AS (sekitar Rp1.260 - Rp4.790 triliun) di ribuan bank, perusahaan asuransi, dan dana pensiun di seantero jagat. Kuasa keuangan mereka sungguh menggetarkan karena mampu menghimpun dana 1.600 miliar dolar AS (Rp14.880 triliun). Bandingkan dengan Produk Domestik Bruto Indonesia pada triwulan pertama 2007 yang "hanya" Rp915,9 triliun. Bagai gelombang tsunami, tak ada yang bisa menghentikan langkah mereka dan tak ada yang bisa menahan saat mereka memutuskan mundur dan menarik modal. Tahun lalu, firma-firma induk pengelola investasi itu mengucurkan sebesar 417 miliar dolar AS untuk mengambilalih ribuan perusahaan di seluruh AS. Di sepanjang kuartal pertama 2007 saja, mereka membenamkan modal hingga 317 miliar dolar AS untuk mengendalikan sekitar 8.000 perusahaan di negara itu. Kini, setelah berhasil menunggangi Inggris dan AS, mereka mengincar Prancis. Tahun lalu, lembaga-lembaga kelola artha yang sebagian besar berbasis di AS dan Inggris itu menggelontorkan dana 14 miliar dolar AS untuk menguasai 400 perusahaan Prancis. Mereka kini mengelola lebih dari 1.600 perusahaan Perancis, di antaranya Picard Surgeles, Dim, Buffalo Grill, Allocine dan Afflelou. Tak hanya korporasi, mereka juga mengincar pasar modal Prancis karena ingin menguasai saham-saham super likuid dalam indeks CAC 40.Dalam sistem keuangan global, "para pemangsa" itu sebenarnya bukan pemain baru karena sejak 15 tahun lalu kiprah mereka telah menjadi buah bibir masyarakat keuangan dunia. Pada era sekarang mereka berada di puncak tangga sistem keuangan global. Mereka mampu menguasai aras tertinggi sistem keuangan dunia berkat kian mudahnya fasilitas kredit dan bertambah canggihnya instrumen-instrumen keuangan. Prinsip dasar kerja mereka sederhana: sekelompok investor makmur membeli perusahaan-perusahaan yang umumnya dalam kondisi sakit atau yang sedang membutuhkan modal demi ekspansi. Perusahaan ini lalu mereka kelola sendiri tanpa memedulikan aturan pasar modal dan dengan mengabaikan pertanyaan pemegang saham. Berterompahkan prinsip moral kapitalisme paling mendasar, yaitu hukum rimba, siapa kuat itu yang menang, mereka menjelajah benua guna menghisap keuntungan setinggi-tingginya di berbagai sistem perekonomian dunia, dari negara super melarat sampai super makmur. Saat beraksi, mereka tak selalu sendirian karena kadang membutuhkan mitra. Misal, untuk mengambilalih satu perusahaan yang katakanlah nilainya mencapai Rp100 miliar, mereka hanya mengeluarkan Rp30 miliar dari koceknya sendiri, sedangkan Rp70 miliar lainnya mereka pinjam dari bank. Bunga kredit yang sangat rendah membuat mereka mudah mendapatkan dana. Setelah perusahaan dibeli, selama tiga sampai empat tahun mereka menata kembali perusahaan itu lewat manajemen baru yang mereka bentuk. Dalam periode ini mereka merasionalisasi sistem produksi, mengembangkan bisnis baru, dan mengalokasikan sebagian besar bahkan semua keuntungan perusahaan untuk membayar pinjaman dan bunganya. Setelah utang bank lunas, mereka menjual lagi perusahaan itu dengan harga dua kali lipatnya menjadi Rp200 miliar. Menggelikannya, mereka kadang melegonya ke firma-firma kelola artha yang menjadi mitra mereka. Beberapa masa kemudian, mereka kembali ke perusahaan itu dengan mengajukan penawaran Rp130 miliar, hanya untuk menguasai 30 persen saham perusahaan tersebut. Tetapi, dengan cerdik, mereka menuntut "return" ("return on investment" atau tingkat pengembalian modal) 300 persen selama empat tahun. Di samping membuat firma kelola artha tumbuh meraksasa, metode akuisisi bisnis seperti itu membuat para direkturnya menjadi orang-orang kaya raya bergaji mahabesar tetapi berkarakter bengis karena gemar mengajukan empat formula klasik rasionalisasi perusahaan. Keempat formula klasik itu adalah mengurangi jumlah karyawan atau memecat karyawan, memangkas upah, menaikkan pagu produktivitas kerja atau menambah beban kerja, dan memindahkan lokasi perusahaan atau pabrik (relokasi). Langkah mereka semakin mantap karena sistem kebijakan publik (pemerintah) menjamin keleluasaan gerak mereka, sebab pemerintah kerap mengasosiasikan modal asing dengan modernisasi pola produksi dan maksimalisasi kaum pekerja. Padahal, asumsi dan perilaku tamak ini membuat kontrak sosial putus akibat hilangnya unsur kemanusiaan dalam proses produksi. Akhirnya, ikatan nasional pun melonggar, bahkan kerap mengelupas sama sekali. Kalau sudah begini, negara juga yang "kedodoran". "Globalisasi membuat perilaku tamak lestari nyaris tanpa bisa dihentikan," kata Ignacio Ramonet, editor majalah Le Monde Diplomatique. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007