Beirut (ANTARA News) - Para pemimpin Libanon menangguhkan pemilihan untuk memilih seorang presiden baru hingga Jumat guna memberi para politisi lebih banyak waktu untuk menyetujui pengganti presiden sekarang ini yang pro-Suriah, yang masa jabatannya akan habis berlakunya hari itu, demikian laporan sumber politik negeri itu.
Parlemen sedianya akan bersidang Rabu untuk memilih pengganti Presiden Emile Lahoud, yang masa jabatannya akan habis berlakunya Jumat (23 November) tapi, kata sumber politik senior itu. Pemilihan itu ditangguhkan sebagai penangguhan keempat kalinya sejak September.
Kegagalan politisi untuk menyetujui seorang kepala negara baru akan makin memperdalam krisis politik yang telah berlangsung setahun lamanya dan dapat menghasilkan dua pemerintah saingan -- satu menentang pengaruh Suriah di Libanon dan lainnya didukung oleh Damaskus.
Banyak orang mengkhawatirkan kekerasan dapat kembali ke negara yang masih membangun kembali setelah perang saudara 1975-1990 itu. Tentara telah meningkatkan keamanan dan memperingatkan terhadap kekerasan internal.
Tentara memperketat keamanan di dan sekitar Beirut, menjaga rintangan jalan dan mengerahkan kendaraan lapis baja di sekitar gedung pemerintah, kata seorang sumber keamanan senior. "Tentara telah memulai pengaturan keamanan," katanya.
"Setiap serangan pada keamanan adalah pengkhianatan nasional dan setiap senjata yang ditujukan ke dalam merupakan senjata berbahaya," kata pemimpin militer Jenderal Michel Suleiman ketika menandai hari kemerdekaan yang jatuh Kamis.
Suleiman mengatakan pada tentara untuk tidak mempedulikan pada perbedaan pendapat "yang hampir membagi negara itu ke dalam beberapa bagian yang tersebar".
Militer merupakan satu dari beberapa lembaga negara yang terus berfungsi secara efektif dalam konflik yang telah melumpuhkan pemerintah.
Nasib kepresidenan merupakan tahap terakhir dalam perjuangan kekuasaan antara koalisi yang memerintah yang didukung-Barat, yang sangat menentang pengaruh Suriah di Libanon, dan oposisi yang didukung oleh Damaskus.
Ketua parlemen Nabih Berri, seorang tokoh penting oposisi, dan pemimpin mayoritas Saad al-Hariri telah gagal menyetujui satu dari nama untuk presiden yang diusulkan oleh kepala gereja Maronit. Hariri telah berangkat untuk melakukan perjalanan ke Moskow Selasa dini hari.
Kepala negara haruslah seorang Kristen Maronit menurut sistim pembagian-kekuasaan sektarian di Libanon. Sumber politik mengatakan koalisi yang memerintah menginginkan anggota parlemen Robert Ghanem untuk jabatan tersebut sementara oposisi mendukung mantan menteri Michel Edde.
Perancis, yang mendukung koalisi yang memerintah, mengatakan Senin, upaya penengahannya telah gagal. Menlu Bernard Kouchner meneruskan pembicaraannya di Beirut Selasa.
Berbicara di Teheran, Menlu Suriah Walid al-Moualem mengatakan Suriah dan Perancis telah bekerja ke arah tujuah yang sama, kantor berita resmi Iran IRNA melaporkan.
Hizbullah, anggota berpengaruh oposisi, memperingatkan mengenai "gambaran bencana besar" tanpa perjanjian. "Kehidupan konstitusional akan berlalu bersama angin," Mohammed Raad, pemimpin blok parlemen kelompok itu, mengatakan pada TV al-Manar Senin.
Perjanjian mengenai presiden diperlukan untuk menjamin kuorum dua pertiga untuk pemilihan di parlemen, tempat koalisi yang memerintah memegang mayoritas absolut tiga.
Beberapa anggota parlemen dari koalisi yang berkuasa mengatakan mereka mungkin akan minta anggota parlemennya untuk memilih seorang presiden jika tidak ada perjanjian. Oposisi mengatakan tindakan itu akan menjadi tidak konstitusional.
Presiden sebelumnya memberi kesan ia dapat menyerahkan kekuasaannya pada kepala militer Suleiman -- tindakan yang kelompok mayoritas anti-Suriah akan tolak karena tidak konstitusional. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007