Majelis hakim menganggap perbuatan terdakwa Idrus Marham dan Eni Maulani Saragih sebagai anggota DPR yang kewenangannya mengawasi pemerintah dan 'budgeting', tapi melakukan kolusi dengan melakukan kesepakatan tidak jujur diwarnai pemberian uang kepad
Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menilai mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham melakukan kesepakatan tidak jujur dengan rekan satu partainya, Eni Maulani Saragih.
"Majelis hakim menganggap perbuatan terdakwa Idrus Marham dan Eni Maulani Saragih sebagai anggota DPR yang kewenangannya mengawasi pemerintah dan 'budgeting', tapi melakukan kolusi dengan melakukan kesepakatan tidak jujur diwarnai pemberian uang kepada Eni Maulani Saragih dan diketahui oleh terdakwa Idrus Marham," kata anggota majelis hakim Hastoko di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.
Idrus dalam perkara ini dinilai bersalah karena terbukti menerima suap Rp2,25 miliar bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih dari pemilik Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Idrus divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan, masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut Idrus divonis selama 5 tahun dan pidana denda selama Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan.
"Uang yang diterima Eni Maulani Saragih sebesar Rp2,25 miliar yang merupakan pemberian Johanes Budisutrisno Kotjo diketahui dan dikehendaki peran aktif terdakwa agar Eni diberikan uang oleh Johannes Kotjo sebagaimana ungkapan dari terdakwa Idrus Marham kalau dirinya lebih dulu kenal Johannes Kotjo, dan tidak mungkin Johannes Kotjo memberikan uang ke Eni tanpa diketahui terdakwa dan pemberian uang karena Eni sudah membantu Johannes Kotjo untuk mendapat PLTU IPP Mulut Tambang Riau 1 antara PT PJB Investasi dan CHEC Ltd," tambah hakim Hastoko.
Sebagian uang yang diterima Eni tersebut lalu dipergunakan untuk Munaslub Partai Golkar pada Desember 2017.
"Karena Eni menjabat sebagai bendahara umum dan uang yang diterima tersebut digunakan untuk munaslub Golkar adalah atas kehendak terdakwa Idrus Marham karena pada 15 Desember 2017 sebelum Munaslub Golkar, Eni Saragih dan Idrus Marham bertemu dengan Johannes Kotjo di graha BIP dan minta uang untuk kepentingan munaslub Golkar," jelas hakim Hastoko.
Menurut hakim, hal itu sesuai dengan pengembalian uang Rp713 juta oleh Sarmudji atas nama panitia Munaslub Golkar yang sebelumnya diterima Eni Maulani Saragih.
"Pada 7 Juni 2018 Eni menyampaikan ke terdakwa Idrus Marham 'ngalor ngidul gak jelas' tapi yang hari ini sudah, tinggal urusan saya yang belum jelas, Idrus membalas 'Si Kotjo ya? Ya sudah 'tak telepon lagi deh," terang hakim Hastoko mengulang pemibcaraan Eni dan Idrus.
Atas pertimbangan itu maka unsur "patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan atas kekuasaan atau kewenangan jabatan atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah itu ada hubungannya dengan jabatan ada dalam perbuatan terdakwa" sudah terbukti.
Atas vonis itu, Idrus dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Terkait perkara ini, Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019