Sana`a (ANTARA News) - Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) melangsungkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang ketiga kalinya dalam sejarah organisasi tersebut di Riyadh, Arab Saudi pada 17-18 Nopember lalu. KTT tersebut didahului oleh Konferesni Tingkat Menlu (KTM) untuk menformat pernyataan terakhir para kepala negara dari 12 negara anggota organisasi produsen minyak itu. KTT pertama berlangsung di ibu kota Aljazair pada tahun 1975 dan KTT kedua di Caracas, Venezuela pada tahun 2000. Pelaksanaan kedua KTT tersebut terkait dengan lonjakan harga minyak. Namun pada tahun 1980-an harga minyak sempat anjlok bahkan dibawah 10 dolar per barel. Pada KTT kali ini, harga minyak juga mendekati angka 100 dolar per barel yang membuat banyak negara konsumen mengeluh dan minta peningkatan produksi. Banyak tokoh perminyakan di negara-negara OPEC menilai tuntutan tersebut tidak berimbang karena kenaikan harga minyak bukan karena faktor produksi OPEC yang sedikit. Bila melihat dari harga riil, sebenarnya tidak begitu berbeda jauh dengan harga minyak pada tahun 1980-an mengingat biaya investasi yang melonjak, harga dolar yang menjadi standar harga minyak OPEC yang terus merosot. Pada KTT pertama dan kedua, negara-negara OPEC yang memproduksi sekitar 40 persen kebutuhan minyak dunia telah sukses mengupayakan penentuan harga yang adil yang diterima negara produsen dan negara konsumen. Bahkan pada saat harga minyak anjlok sehingga harganya tak jauh berbeda dengan harga air, negara-negara konsumen tidak peduli. Namun pada saat harga sekarang yang mendekati 100 dolar perbarel desakan muncul bertubi-tubi agar OPEC menyedot lebih banyak lagi minyaknya. Tuntutan itu ibarat pepatah "air susu dibalas air tuba", kebaikan OPEC selama ini untuk mengupayakan harga minyak yang berimbang tidak pernah dihargai negara-negara konsumen. Mereka selalu menyalahkan OPEC sebagai penyebab lonjakan harga. "OPEC benar-benar mendapat balasan air tuba dari negara-negara konsumen. Mereka tidak pernah menghargai kesulitan yang dihadapi OPEC untuk memperkuat strategi bagi kelangsungan penyiapan minyak dunia," kata Nasser Jeida, Direktur Eksekutif Perusahaan Qatar International Petroleum Company. Dalam seminar yang berlangsung di Riyadh Jumat (16/11), Jeidi mengingatkan harga minyak riil saat ini sebenarnya sebanding dengan harga minyak tahun 1980-an. Ia juga mengingatkan bahwa pajak minyak di negara-negara konsumen bisa mencapai 80 persen dari harga minyak perbarel. "Kami telah berdiskusi dengan sejumlah negara produsen agar pajak itu kitabagi dua," katanya. Pendapat senada dikemukakan oleh Dr. Abbas Al-Majran, Direktur Unit Energi dan Lingkungan Kuwait yang juga tampil sebagai pembicara. "Pungutan pajak dari negara konsumen terlalu berlebihan berkisar antara 65 hingga 70 persen dari harga satu barel." Menurut dia setidaknya OPEC melihat ada empat faktor utama kenaikan harga minyak dunia saat ini. Pertama adalah pertumbuhan pesat ekonomi Cina dan India yang membutuhkan pasokan minyak lebih besar. Faktor kedua inflasi tinggi yang dihadapi perekonomian dunia, ketiga spekulasi di pasaran minyak dunia dan terakhir adalah anjloknya harga tukar dolar terhadap mata uang penting dunia. Faktor keempat tersebut misalnya membuat Iran dan Venezuela mengusulkan agar komunike bersama KTT tersebut mencantumkan agar harga minyak OPEC tidak lagi berdasakan nilai tukar dolar. Terpecah Menghadapi tuntutan negara-negara besar agar OPEC meningkatkan produksi untuk menanggulangi lonjakan harga, organisasi tersebut kelihatannya terpecah dua antara blok yang menolak dan mendukung. Blok pertama dimotori Iran dengan dukungan Venezuela dan Ecuador yang menilai bahwa produksi OPEC saat ini sebesar 31 juta barel per hari sudah mencukupi kebutuhan pasokan minyak dunia. Menurut blok ini, yang diupayakan OPEC adalah tidak lagi mengikat harga minyak dengan dolar yang nilainya turun 40 persen dalam rentang waktu 10 bulan belakangan ini. Blok ini juga mendesak agar tidak tunduk pada tekanan AS yang menuntut penambahan produksi. Sedangkan blok kedua yang dimotori Arab Saudi yang didukung sejumlah negara Arab Teluk terutama Kuwait dan Uni Emirat Arab menolak usulan blok pertama dan menilai bahwa harga minyak saat ini tidak logis. Untuk menurunkan harga perlu peningkatan produksi agar lonjakan harga tidak menimbulkan stagnasi ekonomi di Barat yang membuat permintaan minyak berkurang dan investasi miliaran dolar untuk mencari energi alternatif. Bila melihat komunike akhir yang disetujui KTM OPEC yang tidak memasukkan usul Iran dan Venezuela itu, maka bisa jadi blok kedua pimpinanan tuan rumah dan produsen terbesar OPEC, Saudi yang "menang". Sekjen OPEC, Abdullah Al-Badri juga menolak alenia yang menyebutkan kekhawatiran OPEC atas anjloknya nilai tukar dolar. Kenyataan ini mengisyaratkan dua kemungkinan yang terjadi dalam tubuh negara-negara produsen minyak itu. Pertama, para kepala negara OPEC melakukan kesepakatan rahasia yang mengadopsi usul Iran yang akan dilaksanakan kemudian dengan memberikan wewenang kepada para Menteri Minyak untuk melaksanakannya di lapangan. Kemungkinan kedua adalah perpecahan dalam tubuh organisasi tersebut sebagaimana yang terjadi pada tahun 1976. Kemungkian kedua ini lebih mendekati kenyataan menyusul makin lemahnya hegemoni dunia Arab dalam tubuh OPEC. Faktor utamanya adalah dukungan negara-negara Amerika Latin terhadap posisi Iran teruatama setelah rezim Venezuela keluar dari blok AS yang sekaligus mengubah posisi kekuatan dalam tubuh OPEC. Posisi Indonesia Lalu bagaimana dengan posisi Indonesia yang dalam tubuh OPEC kelihatannya tidak begitu berpengaruh mengingat produksi minyaknya yang tergolong kecil. Posisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan pernyataan yang disampaikan Wapres, Muhammad Jusuf Kala yang memimpin delegasi Indonesia dalam KTT tersebut. "Indonesia justru ingin mengusulkan minyak untuk kepentingan pendidikan dan minyak untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan serta hutan," ujar Wapres kepada pers sebelum bertolak menuju Riyadh. Wapres menambahkan, masalah lain dari kenaikan harga minyak dunia adalah tekanan dari para spekulan minyak. "Apa yang terjadi di Irak, Iran, dan Afrika serta Nigeria sekarang ini sangat berpengaruh terhadap produksi minyak. Lagi pula hanya Arab Saudi yang bisa menaikkan produksi. Lainnya sudah mentok semuanya," papar Wapres. Menghadapi dua blok tersebut Indonesia kelihatannya akan memilih netral untuk tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak. Sebab dengan kondisi produksi minyak Indonesia saat ini yang kecil dan besar impor minyak dari luar membuat Indonesia tidak terlalu berkepentingan untuk memihak salah satu blok tersebut.(*)

Oleh Oleh Musthafa Luthfi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007