Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Yayasan NARASITA yang bergerak di bidang advokasi perempuan, Renny A Frahesty berharap peringatan Hari Kartini tidak sebatas bersifat seremonial, melainkan dijadikan momentum pendorong kaum perempuan untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan.
"Hari Kartini bukan hanya momentum peringatan saja, tetapi substansinya perempuan sebagai warga negara juga harus terlibat dalam kehidupan bersbangsa dan bernegara, salah satunya melalui lembaga pembuat keputusan," kata Renny di Yogyakarta, Minggu.
Menurut Renny, seperti halnya laki-laki, pada dasarnya kaum perempuan juga memiliki potensi yang sama untuk terlibat di lembaga pengambil kebijakan politik mulai tingkat desa hingga Pemerintahan pusat.
Ia menilai pendidikan politik masih perlu digencarkan bagi kaum perempuan karena tidak sedikit di kalangan mereka, khususnya ibu rumah tangga yang menganggap politik sebagai sesuatu yang hal yang besar dan selalu dikaitkan dengan politik elektoral.
"Mereka bisa aktif dan peduli ikut mengawasi pendidikan dan pergaulan anak-anak agar tidak terjadi klithih dan hal-hal lainnya," kata dia.
Menurut Renny, di tingkat desa kaum perempuan bisa hadir di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat desa. Namun demikian, keterlibatan perempuan di BPD masih minim.
Ia mencontohkan di Kabupaten Sleman, keterlibatan perempuan di BPD masih minim. Dari 86 desa yang ada di Sleman, hanya 20 desa yang memiliki anggota perempuan di BPD.
"Padahal tanpa keberadaan perempuan di BPD bagaimana aspirasi perempuan bisa tertampung. Bukan berarti perwakilan laki-laki tidak mampu tetapi kurang sensitif terhadap pengarusutamaan gender," kata dia.
Sementara itu di lembaga legislatif mulai dari DPRD Kabupaten, Provinsi, hingga DPR RI, keterwakilan perempuan juga masih minim.
Minimnya keterwakilan perempuan, menurut dia, bukan hanya disebabkan ketidaksiapan kaum perempuan, melainkan ikut terkendala budaya politik patriarki yang tidak menempatkan perempuan pada posisi yang setara dalam menyampaikan pendapat, serta politik berbiaya mahal.
"Sebetulnya banyak (perempuan) yang mau 'fight' tetapi mereka juga terkendala biaya politik karena kebanyakan secara ekonomi mereka masih bergantung pada pasangan dan masih digunakan untuk keluarga," kata Renny.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019