Perempuan yang lahir di Semarang, 27 November 1962 itu sejak awal memang telah memilih jalan hidup sebagai diplomat yang ia sadari tak mengenal jarak dan batas waktu.
Namun, pilihan itu mendatangkan konsekuensi yang menuntutnya untuk berperan seimbang. Ketika ia dituntut untuk menjalankan diplomasi terbaiknya secara profesional, di waktu yang sama ia diwajibkan menjadi ibu yang baik bagi kedua putranya; Dyota Marsudi dan
Bagas Marsudi, sekaligus menjadi istri terbaik bagi sang suami, Agus Marsudi,
Berikut kutipan wawancara dengan Retno Marsudi:
ANTARA: Bagaimana Ibu melihat kiprah perempuan Indonesia saat ini?
Retno Marsudi (RM): Perempuan bisa berkiprah di berbagai bidang, kelihatannya sepele tapi ternyata kalau kita lihat masih banyak negara dimana masalah diskriminasi ini masih menjadi isu, misal gaji antara laki-laki dan perempuan dibuat berbeda dan sebagainya dan alhamdulillah kita tidak mengalami hal ini di Indonesia.
Tentunya kebijakan adalah satu hal, tapi faktor lain yang akan ikut berkontribusi mendorong perempuan berperan aktif dalam kehidupan ekonomi, politik, dan lain-lain. Misalnya, adalah dalam kehidupan berkeluarga. Dalam keluarga ini sangat menentukan, nah, ini juga saya lakukan di awal pernikahan saya, saya berbicara kepada suami saya dan suami saya mendukung penuh peran saya menjadi diplomat.
Jadi keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar sangat juga membantu dan juga tentunya masyarakat. Dan saya tidak melihat bahwa masyarakat Indonesia tidak menerima peran perempuan di luar rumah. Mereka, saya kira, kita, setiap hari melihat sudah biasa bahwa kaum perempuan Indonesia juga aktif melakukan kegiatan di luar rumah.
Baca juga: Sri Mulyani: Perjuangan dan pemikiran Kartini adalah sumber inspirasi
Baca juga: Susi Pudjiastuti: Ingat jasa dan semangat Kartini
ANTARA: Adakah kendala selama bertugas sebagai Menteri Luar Negeri perempuan?
RM: Alhamdulillah tidak, karena sekali lagi dari keluarga awal saya dari Bapak/Ibu saya, kami adalah keluarga yang sangat demokratis. Dari ibu saya, saudara-saudara saya semua perempuan, semua adalah perempuan-perempuan bekerja.
Dari awal kami dididik untuk mandiri sehingga pada saat keputusan ada bahwa kita akan bekerja di luar rumah maka tidak ada hambatan sama sekali. Kemudian pada saat saya mau menikah, suami saya juga memberikan dukungan dan anak-anak tentunya juga tidak keberatan kalau ibunya aktif di luar rumah.
ANTARA: Bagaimanakah tantangan sebagai ibu bekerja?
RM: Nah, memang yang menjadi tantangan adalah pada saat anak-anak masih kecil, apalagi untuk bidang pekerjaan saya, tantangan salah satunya mengenai masalah waktu dan tempat yang sering berpindah dikombinasikan dengan usia anak-anak yang masih kecil, nah ini perlu sebuah kerja sama yang sangat kuat dengan suami dengan keluarga.
Jadi dengan kerja sama yang kuat itu, Alhamdulillah, sampai sekarang semuanya baik, dalam arti keluarga berjalan dengan baik dan anak-anak juga sudah menikah dan dari segi profesi saya dapat menjalankan profesi saya sebagai diplomat sampai saat ini.
ANTARA: Anak-anak sudah menikah dan mandiri semua?
RM: Saya punya dua anak laki-laki. Yang pertama sudah menikah tiga tahun yang lalu mereka berdua hidup dan bekerja di Singapura kemudian yang kedua dokter, sudah menikah sekitar enam bulan yang lalu dan mereka berada di Jakarta. Jadi sekarang mereka sudah besar-besar sudah menikah semua, alhamdulillah rezeki dari Allah.
ANTARA: Kebersamaan dengan anak bagaimana?
RM: Dari kecil mereka tahu, karena keluarga kami adalah keluarga yang sangat terbuka jadi dari kecil, walaupun mereka masih kecil mereka kita ajak bicara. Saya selalu bicara dengan mereka, misalnya “Mami akan pergi berapa hari” dan dari awal saya tanamkan rasa tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri.
Khusus untuk yang paling gede adalah tanggung jawab untuk juga menjaga adiknya, jadi walaupun kita tidak ada di rumah mereka tidak perlu diingatkan kapan harus belajar, kapan harus bermain dan sebagainya karena mereka sudah paham.
Saya sampaikan bahwa hidup itu seperti membangun rumah, terserah kamu bagaimana kamu akan membangun rumah. Kalau kamu membangun rumah dengan menggunakan bahan-bahan material yang bagus Insyaallah rumahmu akan kokoh tapi kalau kamu membangun rumah bahan-bahan yang kamu pakai adalah bahan-bahan yang tidak berkualitas maka rumahmu tidak akan kokoh.
Jadi, mereka punya tanggung jawab terhadap hidupnya sendiri, mereka menghitung semua langkahnya karena semua langkah itu akan ada akibatnya kalau tidak sekarang, ya, di masa yang akan datang. Jadi, Alhamdulillah, Alhamdulillah.
ANTARA: Mereka paling lama menghabiskan waktu kecil dimana?
RM: Mereka saya bawa kemana-mana, penempatan saya pertama adalah di Australia. Di Australia saya membawa bayi, berangkat membawa bayi usia 1,5 tahun, pulang membawa bayi baru usia 1,5 tahun.
Kemudian penempatan kedua di Belanda saya membawa anak-anak yang sedang bersekolah SD dan juga SMP. Penempatan ketiga, waktu saya menjadi Dubes di Norwegia, tinggal yang kedua, dia masih ikut saya karena dia masih SMP menjelang SMA.
Sementara yang besar sudah kuliah di UI. Jadi dia saya tinggal di Jakarta sendiri mengurus rumah, harus belajar, membayar listrik dan sebagainya. Terus penempatan keempat di Belanda, anak-anak sudah besar tidak ikut semuanya karena yang satu sudah bekerja, yang kedua sudah kuliah di Fakultas Kedokteran UGM.
Baca juga: Target Kartini terlampaui
ANTARA: Pesan untuk perempuan Indonesia?
RM: Perempuan Indonesia cerdas-cerdas. Saya melihat generasi muda Indonesia, termasuk kaum perempuannya mereka cerdas-cerdas. Kombinasi cerdas dengan kebijakan yang memberikan mereka peluang seharusnya akan bertemu dan menjadikan perempuan Indonesia akan dapat berkontribusi lebih, tentunya semuanya pilihan, ya.
Pilihan dalam arti, jangan lupa untuk memilih bahwa akan menjadi ibu rumah tangga itu nilainya juga tak terhingga. Jadi kita memang memilih ya, kalau kita memilih bekerja di luar rumah misalnya maka dengan kebijakan dan campuran dari semangat dari anak-anak perempuan Indonesia Insyaallah perempuan Indonesia akan dapat berkontribusi lebih dan jangan lupa kalau peran ibu juga sangat luar biasa.
ANTARA: Bagaimana tantangan bagi perempuan untuk menjadi diplomat?
RM: Tantangannya lebih besar, itu pasti karena sekali lagi kalau kita memilih apalagi kalau kita sudah menikah maka tantangan yang terdekat adalah bagaimana mengkombinasikan antara kehidupan keluarga dengan kehidupan profesi yang tidak mudah, sangat tidak mudah. Karena bekerja sebagai diplomat itu kan tidak ada batas waktu, tidak ada batas tempat karena mobilitasnya sangat tinggi kemudian praktis bekerja 24 jam karena perbedaan waktu dan sebagainya.
Oleh karena itu komunikasi dengan suami dan anak-anak dari sejak dini bahwa kita membentuk sebuah rumah tangga itu berarti kita membentuk suatu team work yang baik, itu harus dilakukan. Karena kalau tidak maka tidak akan ada pemahaman yang dalam dari suami mengenai jenis atau nature sebagai diplomat. Tantangannya jelas lebih berat daripada diplomat laki-laki tetapi bisa. Dalam artian tantangan besar tetapi bisa.
ANTARA: Apakah hal yang paling menguntungkan menjadi diplomat perempuan, apakah tetap diperlakukan sama?
RM: Kami diperlakukan sama, bukan berarti persis, tapi hak dan kewajibannya setara, saya bahkan di Kemlu sering tidak merasa bahwa saya perempuan karena lingkungan saya adalah lingkungan laki-laki dan mereka memperlakukan saya dengan sangat baik. Kita bekerja bersama sehingga saya merasa saya bukan lagi perempuan lagi tapi saya sama dengan mereka.
ANTARA: Perempuan lebih mudah berdiplomasi apakah itu sisi yang menguntungkan bagi diplomat perempuan?
RM: Sangat menguntungkan apalagi di dalam diplomasi. Diplomasi itu kan sebenarnya menggunakan soft power, menggunakan dialog-dialog, negosiasi untuk menyelesaikan masalah dan perempuan memiliki kelebihan di dalam soft power diplomacy dan inilah yang berusaha saya kapitalisasi selama ini dalam menjalankan tugas sebagai Menlu.
Baca juga: Menlu Retno gunakan hak pilih di TPS Depok
Baca juga: Menlu RI, Korsel berbagi inspirasi dengan generasi millennial
ANTARA: Sampai saat ini seberapa banyak jumlah diplomat perempuan di Kemenlu?
RM: Lebih dari 35 persen kalau dipukul rata, ya, tetapi kalau kita tarik 15 tahun ke belakang maka jumlahnya itu hampir 50 persen. Dulu waktu zaman saya itu jumlahnya hanya sekitar paling banter 10 persen sehingga kalau kita pukul rata semuanya kira-kira 36 persen.
Ini (menggembirakan) Alhamdulillah karena kebetulan Kemenlu merupakan lingkungan yang baik untuk perempuan bertumbuh jadi kemitraan kita dengan laki-laki sangat baik.
Dan akhir-akhir ini kita juga ada kebijakan keberpihakan kepada perempuan misalnya mengenai masalah penempatan. Kalau dulu diplomat menikah dengan diplomat maka salah satu harus give up, sekarang tidak, kita carikan tempat yang terdekat sehingga keluarga tersebut bisa tetap berdekatan atau bersatu. Kemudian untuk anak-anak kita buka sebuah daycare sehingga para diplomat perempuan yang punya anak kecil juga bisa membawa anaknya lebih dekat dengan tempat kerjanya. Jadi memang harus ada keberpihakan.
ANTARA: Bagaimana kualitas diplomat perempuan Indonesia saat ini?
RM: Mereka bagus semua, kalau kita lihat misalnya lulusan terbaik selalu di situ ada perempuan dan tidak jarang perempuan itu nomor satu pada saat mereka melakukan pelatihan kediplomatannya. Jadi saya punya harapan yang besar bahwa diplomat perempuan Indonesia tidak akan kalah dengan para rekannya, kaum laki-laki.
ANTARA: Bagaimana ibu melihat sosok Kartini secara pribadi?
RM: Saya hanya melihat Kartini dari semangat yang ia kobarkan mengenai persamaan, pendidikan, dan sebagainya, jadi semangat Kartini bahwa perempun harus diperlakukan setara mendapatkan hak yang sama, hak mengenyam pendidikan, saya kira itu yang menjadi penyemangat kita kaum perempuan Indonesia untuk maju.
Baca juga: Kartini di tengah arus feminisme
Baca juga: Hari Kartini, sosok enam srikandi BUMN
Baca juga: Jadilah perempuan pembangunan bangsa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019