Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah pada pekan depan diperkirakan akan bisa merosot menembus level Rp9.400 per dolar AS, karena pelaku pasar terus memburu dolar AS dalam jumlah yang besar, menyusul kekhawatiran atas kenaikan harga minyak mentah dunia yang lama. "Perburuan dolar AS oleh pelaku pasar, karena mereka khawatir kenaikan harga minyak mentah dunia berlangsung lama berpengaruh pada anggaran nasional dan meningkatnya kebutuhan lokal terhadap mata uang asing itu untuk membiayai impor yang ikut naik," kata pengamat pasar uang, Edwin Sinaga, di Jakarta, akhir pekan ini. Kurs rupiah pekan lalu terus mendapat tekanan pasar hingga bergerak pada level Rp9.300 per dolar AS, setelah sempat berkutat pada level antara Rp9.100 hingga Rp9.150 per dolar AS. "Kami memperkirakan rupiah akan bisa menembus level Rp9.400 per dolar AS, karena tekanan negatif yang terjadi di pasar makin kuat," kata Edwin, yang juga merupakan pimpinan perusahaan investasi di Jakarta. Rupiah, lanjut dia, akhir pekan ini berada di level Rp9.360/9.370 per dolar AS tinggal beberapa poin saja untuk bisa mencapai level Rp9.400 per dolar AS. "Namun, apabila rupiah sampai di level Rp9.400 per dolar AS, kemungkinan Bank Indonesia (BI) akan masuk pasar melepas dolar AS untuk menahan keterpurukan rupiah lebih lanjut," ucapnya. Menurut dia, rupiah yang terkoreksi cukup besar pada dua bulan terakhir tahun ini terutama disebabkan adanya kebutuhan lokal dalam upaya membayar utang yang sudah jatuh tempo dan membayar barang impornya. Pelaku pasar mempunyai persepsi sendiri terhadap gejolak kenaikan harga minyak mentah itu, meski di dalam negeri banyak dana asing yang masuk ke pasar domestik, katanya. Bahkan bank sentral AS (The Fed) yang semula berencana akan menurunkan suku bunganya lagi untuk memicu pelambatan ekonominya, namun dengan kembali menguatnya dolar AS kemungkinan akan menahan rencana tersebut. Federal Reserve AS sebelumnya telah menurunkan dua kali suku bunga Fedfund dari 5,25 persen menjadi 4,50 persen. Menurut Edwin, pemerintah lebih baik mengurangi biaya subsidi hingga nol persen, sehingga tidak membebani APBN dan rupiah pun tidak akan tertekan lebih jauh. (*)

Copyright © ANTARA 2007