Beberapa waktu yang lalu kita berhasil menyepakati rencana peningkatan ekspor berbagai produk peternakan termasuk obat hewan ke Timor Leste. Pemerintah selalu berupaya untuk membuka akses-akses pasar seperti ini untuk kemudian mengajak para produsen

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian meminta seluruh produsen obat hewan Indonesia untuk meningkatkan kualitas obat hewan dengan penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) guna memperluas akses pasar ekspor.

Direktur Kesehatan Hewan Kementan Fadjar Sumping mengatakan bahwa pihaknya telah mengadakan pertemuan dengan dengan para produsen obat hewan dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) terkait upaya-upaya peningkatan ekspor obat hewan Indonesia dan mewaspadai ancaman penyakit infeksi baru, dan resistensi antimikroba

"Pada kesempatan ini dibahas peran produsen obat hewan dalam menjamin kuantitas dan kualitas (mutu, khasiat, dan keamanan) untuk peningkatan produksi peternakan dan akses pasar yang lebih luas, serta didiskusikan juga peran produsen obat hewan dalam pencegahan laju resistensi antimikroba," kata Fadjar di Jakarta, Sabtu.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh para produsen obat hewan baik produsen obat hewan sediaan biologik, sediaan farmasetik, sediaan premiks, dan sediaan obat alami yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pada periode 2015-2018, Indonesia telah berhasil mengekspor obat hewan ke 93 negara dengan nilai lebih dari Rp23,54 triliun. Nilai ekspor dan jumlah negara penerima ini trennya terus meningkat setiap tahun.

Dengan adanya pertemuan rutin bersama para produsen obat hewan Indonesia, Kementan terus mendorong peningkatan akses pasar ke berbagai negara dan disertai peningkatan volume dan nilai ekspor.

"Beberapa waktu yang lalu kami berhasil menyepakati rencana peningkatan ekspor berbagai produk peternakan termasuk obat hewan ke Timor Leste. Pemerintah selalu berupaya untuk membuka akses-akses pasar seperti ini untuk kemudian mengajak para produsen peternakan mengisi peluang-peluang tersebut," kata Fadjar.

Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Ditjen PKH Kementan Ni Made Ria Isriyanthi, dalam rangka mendukung peningkatan ekspor tersebut, produsen obat hewan Indonesia harus menerapkan CPOHB dengan konsisten.

"Untuk lebih memahami tentang CPOHB ini, Kementan telah mengundang 3 narasumber ahli CPOHB untuk memberikan penjelasan terkait penerapan CPOHB pada fasilitas produksi sediaan biologik, fasilitas produksi sediaan farmasetik dan premiks, serta fasilitas produksi sediaan obat alam," kata Ria.

Sementara itu terkait ancaman resistensi anti mikroba (AMR), Ketua ASOHI Irawati Fari mengapresiasi upaya Kementan dalam mengatur penggunaan antimikroba melalui terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017.

Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Hari Paraton menambahkan bahwa isu AMR merupakan isu global dan dalam penanganannya memerlukan kerja sama lintas sektor melalui pendekatan "One Health" yang melibatkan unsur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Penggunaan antimikroba yang tidak sesuai aturan dapat menimbulkan percepatan terjadinya resistensi antimikroba baik di sektor manusia, hewan, dan lingkungan. Kerja sama antara sektor-sektor tersebut sangat diperlukan untuk memperlambat laju AMR ini.

Saat ini sebagian pelaku usaha dan peternak dinilai masih belum memahami dan mengerti seutuhnya bahaya AMR, penyakit infeksi baru, dan zoonosis, sedangkan produsen obat hewan merupakan penentu awal arah penggunaan antimikroba, sehingga para produsen ini harus mengerti kondisi AMR yang mengancam kehidupan di bumi.

Fadjar menegaskan kembali bahwa resistensi antimikroba tidak terlepas dari penyimpangan dalam penggunaan antimikroba di sektor peternakan. Penggunaan antibiotic growth promotor (AGP), penggunaan antibiotik untuk pencegahan tanpa pengawasan dokter hewan, serta adanya diagnosa penyakit yang tidak tepat menyebabkan adanya pengobatan yang salah.


Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019