Brisbane (ANTARA News) - Pengadilan Glebe Coroners Negara Bagian New South Wales (NSW) Australia menyimpulkan bahwa personil TNI sebagai pihak yang membunuh lima wartawan Australia dalam insiden Balibo, Timor Timur, tahun 1975.Kesimpulan persidangan pengadilan koroner yang digelar untuk melihat kasus kematian Brian Peters, salah seorang dari lima wartawan Australia yang tewas dalam insiden yang populer disebut "Balibo Five" itu diungkapkan wakil Pengadilan Koroner NSW, Dorelle Pinch seperti dilaporkan ABC, Jumat.Temuan-temuan Pinch yang memberatkan TNI itu muncul setelah berlangsung enam minggu proses pengadilan koroner awal 2007 untuk mendengarkan kesaksian berbagai pihak di seputar kematian kelima wartawan tersebut.Pinch mengatakan kepada pengadilan bahwa kelima wartawan tersebut tidak tewas dalam kontak tembak antara personil TNI dengan Fretilin tetapi dibunuh atas perintah Komandan Lapangan Kapten Yunus Yosfiah. Kejahatan perang telah terjadi dan pihaknya akan menyerahkan kasus ini kepada Jaksa Agung Pemeritah Federal Australia, katanya. Dia pun merekomendasikan kepada Pemerintah Australia untuk memulangkan jenazah kelima wartawan dari kuburan mereka di Jakarta ke Australia. Terkait dengan kasus Balibo Five, mantan Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, yang memberikan keterangan di Pengadilan Glebe Coroners, Sydney, 8 Mei lalu, mengatakan, dia tidak pernah melihat adanya dokumen apa pun yang menunjukkan tentara Indonesia memerintahkan pembunuhan terhadap lima wartawan Australia di Balibo (Balibo Five), Timor Timur, tahun 1975 itu. Whitlam memenuhi panggilan pengadilan untuk memberikan bukti terkait dengan tewasnya Brian Peters, salah satu dari lima wartawan Australia yang meninggal dalam peliputan di Timor Timur tahun 1975. Menurut mantan politisi yang ketika menjabat perdana menteri Australia itu, satu bulan sebelum insiden itu terjadi, dia telah mengingatkan kepada salah seorang dari lima wartawan tersebut bahwa pemerintah tidak punya cara untuk melindungi mereka saat mereka bepergian ke Timor Timur. Wartawan itu tetap saja pergi kendati ia telah menasihatinya, kata Whitlam dalam kesaksiannya di pengadilan Sydney itu. Dikatakannya, ia pertama kali mendengar kabar kematian kelima wartawan itu lima hari setelah kejadian ketika dia diberi tahu tentang "sebuah pesan militer Indonesia yang disadap" yang menyebutkan bahwa ada empat tubuh warga kulit putih di Balibo. Whitlam mengatakan, dia tidak melihat adanya dokumen atau bahan apa pun yang menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia sedang merencanakan pembunuhan para wartawan itu dan tidak pula ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa para wartawan itu sengaja dijadikan target eksekusi. Sejak insiden itu terjadi 32 tahun lalu ketika aparat keamanan dan sukarelawan Indonesia masuk ke wilayah Timor Timur dalam proses integrasi wilayah itu ke dalam NKRI, masalah kematian lima wartawan Australia di Balibo itu tetap diungkit.Yunus, Bantah Bahkan, nama mantan Menteri Penerangan semasa pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998-99), Yunus Yosfiah, terus terseret ke dalam pusaran masalah ini padahal ia telah membantah semua tuduhan yang menyebutkan dirinya terlibat dalam pembunuhan lima wartawan Australia yang sedang bertugas di Balibo, Timor Timur, tahun 1975 itu. Seperti dikutip Harian Kompas edisi 23 Februari 2001, Yunus Yosfiah mengatakan, bahwa semua kesaksian dalam laporan tim PBB mengenai masalah tewasnya lima wartawan Australia itu adalah "bohong belaka". "Semua kesaksian itu bohong. Saya tidak pernah berjumpa dengan wartawan-wartawan itu secara langsung, apalagi membunuh mereka," kata Letjen (Purn) Yunus Yosfiah yang ketika peristiwa itu terjadi masih berpangkat kapten. Menurut dia yang sekarang menjadi anggota DPR , pertikaian di antara partai politik saat itu, yang mengakibatkan saling bantai di antara rakyat sipil. Sebenarnya apa yang disebut "Balibo Five"-sebutan bagi kasus terbunuhnya lima wartawan- sudah selesai pada tahun 1996. Waktu itu, pihak otoritas di Australia menganggap lima wartawan itu tertembak dalam pertempuran. Tetapi pada tahun 1998, muncul kesaksian baru yang mendorong Pemerintah Australia untuk menginvestigasi ulang. "Hasilnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan laporan pertama itu," katanya seperti dikutip Kompas enam tahun lalu. Penelurusan ANTARA juga mendapati adanya penegasan Duta Besar Australia untuk Indonesia tahun 1975, Richard Woolcott, bahwa pihaknya pun tidak mengetahui bahwa ada wartawan Australia atau warga negara Australia lainnya di Balibo pada waktu itu. Timor Timur sempat berintegrasi ke dalam NKRI atas permintaan rakyat Timor Timur melalui partai-partai UDT, APODETI, KOTA, dan TRABALHISTA dalam suatu deklarasi Integrasi di Balibo pada 30 November 1975. Sejak itu, Indonesia menganggap Timor Timur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negara kesatuan Indonesia. Rakyat Indonesia melalui DPR menerima petisi integrasi rakyat Timor Timur tersebut pada tanggal 17 Juli 1976. Timor Timur berdasarkan UU No. 7 Tahun 1976 ditetapkan sebagai propinsi ke-27. Namun, PBB sejak awal tidak mengakui proses integrasi Timor Timur ke dalam NKRI itu dan tetap menganggap Portugal, penjajah Timor Timur selama lebih dari 400 tahun, sebagai administrator teritori yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur tersebut. Setahun setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi yang akut dan berujung pada penumbangan rezim Orde Baru tahun 1998 oleh rakyat yang dimotori mahasiswa, Indonesia dan Portugal di bawah payung PBB sepakat untuk menyelenggarakan jajak pendapat di Timor Timur pada 1999. PBB mengklaim bahwa sebagian besar rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia dalam jajak pendapat yang diselenggarakan pada 30 Agustus 1999 itu. Teritori ini resmi berpisah dari NKRI pada 19 Oktober 1999 setelah MPR mengeluarkan Tap MPR No.VI/MPR/1999.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007