Jakarta (ANTARA News) - Soal pembangunan jalan tol, Malaysia patut menjadi "kaca benggala" bagi Indonesia. Meskipun 27 tahun lalu Malaysia belajar dari Indonesia, tapi fakta membuktikan saat ini pengelolaan tol negeri itu jauh lebih maju. "Kita berguru dari murid sendiri," kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Hisnu Pawenang di sela kunjungan selama lima hari sejak Kamis (8/11) di Malaysia. Meskipun pernyataan Pawenang dilakukan secara berseloroh, namun jika ingin benar-benar serius melakukan percepatan pembangunan jalan tol, seperti Tol Trans Jawa, Indonesia mesti belajar banyak dari negeri jiran itu. Dari hasil kunjungan BPJT, hal yang dapat ditimba dari Malaysia, salah satu diantaranya adalah soal pembebasan tanah, yang selama ini menjadi hantu bagi investor tol di Indonesia. Persoalan lahan, antara lain dikeluhkan oleh Direktur Utama PT Citra Marga Nushapala Persada (CMNP) Daddy Hariadi, yang menggarap ruas tol Depok-Antasari. Pembangunan tol itu terhenti akibat Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) melonjak dua kali lipat dari rencana bisnis yang ditetapkan pada awal tender. Kasus ini menunjukkan pemerintah tidak siap dalam melaksanakan pembangunan jalan tol. NJOP sebenarnya menjadi satu-satunya instrumen yang dapat dikendalikan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian. "Apabila NJOP sudah melonjak sedemikian rupa bagaimana dengan harga riil di lapangan, pasti bisa empat kalinya," katanya. Pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol di Malaysia relatif tidak menimbulkan masalah berarti. Persoalannya Indonesia dan Malaysia memiliki perbedaan prinsip dalam mengadopsi pembebasan tanah. Tipikal masyarakat Indonesia juga tidak sama dengan negara tetangga. Malaysia menganut sistem "memaksa" dalam pengadaan tanah bagi fasilitas umum atau dikenal dengan pola "compulsory acquisition", serta dilaksanakan melalui satu instansi saja dibawah kendali pemerintah. Bagi masyarakat yang tidak puas dapat mengajukan gugatan gantirugi lebih tinggi, akan tetapi pembangunan tetap berlangsung. Ini berbeda dengan Indonesia. Di Tanah Air, sepanjang gugatan tanah belum selesai maka peralatan kerja tidak diperkenankan memasuki lokasi. SDisamping itu pembebasan tanah juga melibatkan berbagai institusi di daerah maupun pusat yang membuat pelaksanaannya menjadi lebih panjang. Malaysia memang menggunakan pola memaksa, namun masyarakatnya patuh, tidak demikian halnya dengan masyarakat Indonesia. Selain itu sesuai peraturan, penyelesaian tanah harus melalui proses musyawarah dan mufakat. Akibatnya prosesnya memakan waktu tidak hanya berbulan-bulan tetapi juga bisa bertahun-tahun. Memang sesuai Perpres No. 65 tahun 2005 revisi dari Pepres 36 tahun 2005 pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut hak atas tanah yang akan dilalui jalan tol. Akan tetapi prosesnya cukup panjang mulai dari rekomendasi pemerintah daerah di tingkat bawah (Bupati/ Walikota), Gubernur, Menteri PU, sebelum akhirnya dicabut oleh Presiden. Apabila di Malaysia pemerintah memiliki kekuatan untuk memerintah masyarakatnya untuk pindah, di Indonesia sengketa tanah untuk jalan tol sering dibawa ke ranah politik. Akibatnya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil melaksanakan pembebasan tanah. Namun demikian, tidak salah jika Indonesia tetap berguru ke Malaysia, bertukar pengalaman untuk mempercepat pembangunan jalan tol. Beberapa sisi positif dari negara tetangga mungkin dapat diadopsi dalam peraturan di Indonesia termasuk menyangkut penyelesaian tanah agar pelaksanaannya tak berlarut-larut. Kerjasama Dalam kunjungan itu, Badan Pengatur Jalan Tol BPJT juga menjalin kerjasama dengan Lembaga Lebuhraya Malaysia (semacam BPJT di Malaysia) dalam hal teknis dan pengaturan jalan tol. Kedua belah pihak menandatangi nota kesepahaman (MoU) tentang kerjasama pengembangan jalan tol di kedua negara. Kepala BPJT Hisnu Pawenang berharap dari kerjasama ini akan ada pemecahan dalam melaksanakan tugas pemerintah membangun 1.500 kilometer jalan tol di Indonesia. Selain itu Hisnu mengatakan dalam kunjungan ke Malaysia pihaknya ingin melakukan studi banding menyongsong pengembangan jalan tol sepanjang 1.500 kilometer dalam selama 5 tahun mendatang. Sementara itu, menurut Ketua Setiausaha Kementerian Kerja Raya, Dato` Syed Jamal bin Syed Jaafar, menyatakan MoU ini akan segera ditindaklanjuti, dalam waktu dekat Menteri Kerja Raya (PU) Malaysia akan melakukan kunjungan kepada Menteri Pekerjaan Umum. Saat ini Lembaga Lebuhraya Malaysia menangani 22 pemegang konsesi jalan tol sepanjang 1.500 kilometer yang dikembangkan sejak 20 tahun lalu. Sedangkan BPJT yang baru dua tahun telah mengemban menangani 500 kilometer. Ketua Lembaga Lebuhraya Malaysia Dato` Ir. Haji Mohamad Razali bin Mohamad mengatakan, pihaknya ingin berbagi pengalaman menyangkut persoalan pengadaan tanah yang selama ini menjadi faktor penghambat jalan tol. "Kalau di Malaysia ada kebijakan yang mewajibkan warga menjual tanah kepada negara. Kalau dari segi harga tidak sepakat pemerintah tetap melaksanakan pekerjaan bersamaan dengan proses negosiasi," ucapnya. Selain itu terdapat beberapa perbedaan menyangkut penetapan tarif awal yang mungkin dapat dijadikan masukan kepada BPJT, hal ini semua akan dituangkan dalam bentuk pelatihan, ungkapnya. Dia juga menyampaikan pihak Malaysia sangat terbuka bagi investor Indonesia yang ingin menggarap jalan tol di negara tersebut sepanjang memenuhi persyaratan," ujarnya. Tercatat empat investor Malaysia yang terlibat langsung dalam pembangunan tol Trans Jawa, yakni Plus Sdn Bhd, MTD Capital, Cahaya Mata Serawak, serta Bina Puri. Mereka menggarap jalan tol dengan menggandeng investor Indonesia. Berbagi Resiko Menurut Ketua Umum Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Fatchur Rochman, pemerintah seharusnya berani menanggung resiko seperti dilakukan Malaysia dalam membangun jalan tol. Malaysia berani membeli kembali konsesi jalan tol apabila dalam perjalannya ternyata ruas tersebut tidak layak secara finansial bagi investor. Lembaga Lebuh Raya Malaysia juga berani membeli kembali konsesi jalan tol, jika investor tol mengalami kesulitan keuangan. Menurut Fatchur, pemerintah belum memberikan kebijakan yang seimbang. Saat ini, kendala tanah menjadi beban investor, sementara kalau terjadi sengketa juga diserahkan kepada investor untuk menyelesaikan sendiri. "Melalui kerjasama BPJT dengan Lembaga Lebuh Raya Malaysia diharapkan bisa terjadi saling tukar pengalaman termasuk menyangkut berbagi risiko yang selama ini masih dianggap berat bagi investor," ujarnya. Namun diakui Pemerintah Malaysia memang berani memberikan harga tinggi sehingga masyarakatnya dengan senang hati bersedia melepaskan tanahnya. Sementara apabila belum terjadi kesepakatan pekerjaan tetap dilanjutkan serta penyelesaian akan dilaksanakan melalui pengadilan dengan melibatkan lembaga penilai independen untuk menetapkan harga tanah yang realistis. Di Indonesia harga tanah bisa menjadi tidak terkendali sehingga membuat pembangunan jalan tol menjadi tidak layak apabila diteruskan, sementara untuk mengambil alih pemerintah juga ragu-ragu karena harganya tidak dapat diprediksi. Ditambah lagi, kata Fatchur, apabila terjadi sengketa dengan pemilik tanah, pemerintah maupun investor pemegang konsesi sulit melanjutkan pekerjaan, sementara untuk mencabut hak atas tanah prosedurnya panjang sampai ke Presiden. "Kita memang ada lembaga penilai, tetapi hanya dipakai sebagai rujukan, buka dipakai sebagai dasar hukum membebaskan tanah. Diharapkan melalui kerjasama ini pola pembebasan tanah dapat diubah," ujarnya. Ia menyarankan Perpres No 65 tahun 2005 sebagai hasil revisi Pepres No 36, tentang pengadaan tanah bagi fasilitas umum harus kembali diubah. Departemen Keuangan sampai saat ini masih mencari pola-pola pengadaan tanah bagi pembangunan jalan tol yang aman dalam arti tidak membuka celah bagi pelanggaran hukum. Persoalan pembebasan tanah seringkali membuat perbankan ragu untuk membiayai jalan tol, namun sejak pemerintah menggunakan dana BLU sebesar Rp600 miliar, perbankan akhirnya bersedia masuk dalam pembangunan jalan tol. Yang belum putus saat ini adalah batas yang harus ditanggung pemerintah dalam pembebasan tanah. Apabila pola berbagi resiko dipakai, jangan sampai terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaannya. Harus jelas siapa yang harus menanggung, apabila harganya melonjak berlipat-lipat. Masyarakat tentu tak rela apabila uang APBN digunakan untuk membiayai pembebasan tanah dengan harga berlipat-lipat.(*)
Oleh Oleh Ganet Dirgantara
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007