Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat syarat berat yang ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang untuk menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah hal yang wajar. Majelis Hakim Konstitusi pada sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa, secara bulat menolak uji materiil UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan oleh Ravavi Wilson yang mempersoalkan syarat gelar S1 untuk menjadi pimpinan KPK. Ravavi mendalilkan pasal 29 huruf d UU KPK yang mengatur syarat gelar S-1 dan pengalaman minimal 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, untuk menjadi pimpinan KPK bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentang hak asasi warga negara Indonesia. Ravavi mengklaim mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya aturan tersebut karena ia yang tak memiliki gelar S-1 gagal mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK. MK dalam putusannya menyatakan permohonan dan dalil yang diajukan oleh pemohon tidak beralasan. MK berpendapat syarat yang diberlakukan untuk menjadi pimpinan KPK bukanlah suatu aturan diskriminatif yang membatasi hak asasi warga negara. Pengaturan dan pemberian syarat secara obyektif, menurut MK, memang dituntut oleh suatu bidang kegiatan pemerintah tertentu sesuai dengan sifat atau karakter bidang kegiatan tersebut. Syarat harus memilik gelar S1 dan pengalaman 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan, untuk menjadi pimpinan KPK, menurut MK, bukanlah syarat yang diskriminatif dan menghalangi hak seseorang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Meski kemampuan seseorang tidak selalu tergambar dari kualifikasi pendidikannya, syarat pendidikan dinilai telah diterima secara umum sebagai ukuran obyektif bagi tolak ukur seseorang guna melaksanakan tugas suatu jabatan dalam pemerintahan. Syarat pendidikan dan pengalaman tersebut, MK berpendapat, merupakan tuntutan kebutuhan sesuai dengan sifat kelembagaan KPK sebagaimana fungsi dan tugasnya untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Apalagi, menurut MK, KPK justru dibentuk karena lembaga penegak hukum yang sudah ada dinilai belum mampu menangani tindak pidana korupsi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007