Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) siap menghadirkan sedikitnya 15 saksi memberatkan untuk menjerat mantan Presiden Soeharto dalam kasus penyelewengan dana Yayasan Beasiswa Supersemar. "Tidak perlu sebut nama, yang jelas 15 sampai 16 orang," kata Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk perkara itu, Dachmer Munthe, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa. Dachmer menyebut beberapa saksi yang hadir di antaranya berasal dari Yayasan Beasiswa Supersemar, dan sejumlah jaksa. Saksi-saksi yang akan dihadirkan akan menjelaskan berbagai hal, antara lain kebenaran beberapa surat yang ditandatangani Soeharto. Kejaksaan Agung masih memiliki tiga kesempatan pembuktian untuk menghadirkan saksi. Rencananya, Kejaksaan Agung akan menghadirkan lima saksi setiap kali proses pembuktian. Selain saksi, Kejaksaan Agung juga menyerahkan 48 alat bukti yang memberatkan Soeharto. Alat bukti tersebut antara lain terdiri dari sejumlah surat perintah, kwitansi, dan keterangan saksi ketika diperiksa dalam kasus pidana Soeharto. "Kemungkinan masih bisa bertambah," kata Dachmer. Gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Beasiswa Supersemar diajukan terkait dugaan penyelewengan dana pada yayasan tersebut yang sekaligus diketuai Soeharto. Kejaksaan juga menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun. Menurut Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munthe, yayasan itu pada awalnya bertujuan menyalurkan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa kurang mampu sejak tahun 1978. Yayasan Supersemar menghimpun dana negara melalui bank-bank pemerintah dan masyarakat. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah, yang kemudian diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 373/KMK.011/1978, serta Pasal 3 Anggaran Dasar Yayasan Supersemar, seharusnya uang yang diterima disalurkan untuk beasiswa pelajar dan mahasiswa, namun pada praktiknya tidak demikian dan telah terjadi penyelewengan. Penyelewengan dana itu, menurut JPN, merupakan perbuatan melawan hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata. Sebelumnya pada 21 Agustus 2000 Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi pada tujuh yayasan, termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian keuangan negara melalui pengajuan gugatan perdata. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007