Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum menyiapkan pola baru pembatasan kendaraan pribadi, selain sistem 'three in one' yang sudah berlaku sejak 2002 lalu. "Mengenai pola pembatasan penggunaan kendaraan pribadi belum dibicarakan, memang ada wacana "Electronic Road Pricing" (ERP), tetapi itu masih dikaji," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, di Jakarta, Senin. Ia memaparkan saat ini Pemprov DKI Jakarta tengah memusatkan perhatian untuk penanganan kemacetan lalu lintas yang dalam beberapa bulan terakhir ini semakin parah. "Namun pemberlakuan ERP pun tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Pemprov DKI, tetapi juga kewenangan pemerintah pusat," katanya. Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, dalam jangka pendek, Pemprov DKI membolehkan lajur khusus bus TransJakarta di beberapa titik dimasuki kendaraan non bus TransJakarta. Sutrisno (60), warga Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan akibat keputusan itu sebagian besar pengguna jalan berlomba-lomba menggunakan lajur TransJakarta yang kosong, padahal lajur jalan biasa relatif kosong. "Pengemudi tentunya akan lebih memilih jalur Busway karena tidak ada rintangan, jadinya mereka berlomba-lomba mengambil ke kanan, seperti yang terjadi di dekat Manggarai," katanya. Sejumlah kalangan pengamat transportasi mengkhawatirkan keputusan itu justru akan membuat warga pengguna TransJakarta meninggalkan Bus Rapid Transit (BRT) itu, karena pada akhirnya akan terjebak macet juga. "Saya menyesalkan keputusan ini sehingga lajur Busway diambil oleh kendaraan pribadi," kata Harsya Setyaka, dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Ia justru menilai pola yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta adalah melalui pembatasan operasional kendaraan pribadi di Jakarta, dengan salah satu cara mengenakan tarif parkir yang tinggi di kawasan pusat kota. "Dengan kondisi itu, maka warga akan lebih memilih menggunakan transportasi publik untuk beraktivitas, tentunya sarana itu harus memadai dan nyaman," paparnya. Sementara pengamat Transportasi lainnya, FX Trisbiantara, mengatakan tarif parkir yang tinggi sebaiknya dikelola dengan baik dan menjadi bagian dari retribusi kemacetan. "Jadi tarif parkir tetap, bila dikenakan lebih mahal, kelebihan uang itu masuk ke kas Pemprov DKI Jakarta dan dialokasikan untuk pengembangan transportasi publik," katanya. Ketua Forum Warga Jakarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan, bahkan lebih jauh menyarankan penghapusan parkir di badan jalan (parking on the street) dan perpanjangan waktu 'three in one' untuk mengurangi kemacetan melalui pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. (*)
Copyright © ANTARA 2007