Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menilai soal upaya pemidanaan pilot oleh kepolisian adalah masalah biasa sehingga masing-masing pihak harus saling menghormati. "Tidak masalah dan tidak perlu dipertentangkan (antara polisi dan pihak lain). Tanggapi dengan kepala dingin saja," kata Dirjen Perhubungan Udara, Dephub, Budhi Muliawan Suyitno menjawab pers usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR di Jakarta, Senin. Penegasan tersebut terkait dengan penolakan secara tegas upaya kriminalisasi pilot oleh kepolisian dalam kasus musibah GA 200 di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, awal Maret 2004. Penolakan, setidaknya dilakukan oleh Federasi Pilot Indonesia (FPI), Asosiasi Pilot Garuda dan Asosiasi Pemandu Lalu Lintas Udara Indonesia (IATCA) Menurut Budhi, wajar dalam sebuah negara seperti Indonesia terjadi penafsiran hukum, apalagi polisi juga punya Undang-Undang Kepolisian yang memungkinkan untuk itu. "Pilot lalai dan terindikasi pidana itu bisa saja terjadi. Pernah ada indikasi seorang pilot ingin mencelakakan dirinya sendiri (bunuh diri, red). Namun, ini tidak pernah dibuka. Saya tidak perlu saya sebut, tapi itu ada," katanya. Oleh karena itu, dirinya mengimbau agar para pihak juga sadar diri dengan posisinya masing-masing. Budhi juga menggarisbawahi sebenarnya, regulasi yang ada untuk menyelidiki dan menindak pilot bermasalah sudah ada. "Dan polisi lewat PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), sudah mendelegasikan kewenangannya untuk menyidik," katanya. Kemudian, berdasarkan regulasi CASR anex-1 tentang lisensi personal sudah jelas bahwa setiap pilot harus melewati proses cek secara rutin pada periode tertentu. "Yang penting juga sebenarnya, UU Penerbangan yang ada sudah lex specialis (khusus dan tidak berlaku pada perundangan yang lain)," katanya. Tentang usulan perlunya Mahkamah Penerbangan agar polisi tidak lagi mengkriminalkan polisi, Budhi menampik kemungkinan itu. "Tak perlu itu karena mahkamah penerbangan itu mengacu pada mahkamah pelayaran dan ini sisa peninggalan Belanda dan kekuatan hukumnya tak kuat," katanya. Selain itu, Mahkamah diputuskan oleh eksekutif dan realisasinya tidak seperti di pengadilan umum. Senada dengan Budhi, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi enggan mengomentari persoalan tersebut, apalagi terkait dengan pertentangan dengan dua institusi. "Jangan dipertentangkan. Hasil KNKT jelas dan tegas tak bisa dijadikan alat bukti untuk penuntutan. Hormati saja. Polisi juga punya dasar," katanya. Namun, Tatang menunjukkan bahwa sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang awal tidak menyentuh kejadian penerbangan. "Baru setelah UU 4/76 tentang perubahan pasal-pasal kejahatan penerbangan, di KUHP kemudian ada tambahan pasal-pasal yang intinya hingga saat ini masih bisa dipakai karena menggunakan istilah barang siapa dan seterusnya," kata Tatang. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007