Surabaya (ANTARA News) - Kala fisik dan pikiran sudah tidak lagi berdaya menyelesaikan persoalan, maka tidak ada pilihan lain bagi manusia, kecuali kembali kepada-Nya, sumber dari segala kekuatan. Itulah pesan yang ingin disampaikan fotografer asal Yogyakarta, Tarko Sudiarno lewat 35 foto bencana gempa, Gunung Merapi, lumpur Lapindo, Gunung Kelud dan Gunung Semeru dyang dipamerkan di Galeri Seni Orasis Surabaya, 9 - 16 Nopember 2007. Kisah kembalinya manusia ke sumber kehidupan dalam pameran bertajuk "Akhirnya ke Sana; Refleksi Setahun Bencana" itu bermula dari foto munculnya pelangi di atas Gunung Merapi, 15 Mei 2006 sekitar pukul 11.00 WIB. Bagi dia yang orang Jawa, pelangi aneh itu merupakan "pertanda" atau simbol akan terjadinya sesuatu. Tentunya, saat itu pikiran masyarakat banyak yang fokus pada kemungkinan Merapi akan betul-betul meletus. Bukan hanya pelangi. Tarko juga menangkap pertanda lain yang ditampilkan sejumlah satwa. Misalnya dua foto anjing dengan tingkah aneh dan seekor burung elang yang melintas dengan latar belakang Merapi. "Bagi saya, semua peristiwa itu merupakan pertanda. Apalagi, saat itu saya sudah dua bulan tinggal di lereng Merapi untuk mengabadikan detik-detik Merapi akan meletus," kata fotografer kalahiran Yogyakarta, 5 April 1962 itu. Ternyata benar, 12 hari kemudian di Yogyakarta terjadi bencana, tapi bukan dari Merapi. Bencana muncul dari sumber yang tidak terduga-duga, yakni laut. Saat itu, 27 Mei 2007 Yogyakarta diguncang gempa tektonik akibat patahnya lempengan bumi di laut selatan. Ia bercerita, saat terjadinya gempa, secara kebetulan ia tidur di rumahnya, bukan di lereng Merapi. Pada pagi itu pula, "feeling" wartawannya membimbing ia untuk melihat keraton, tugu di tengah kota dan Candi Prambanan. "Menurut saya, ketiga lokasi itu merupakan simbol Yogyakarta yang terkenal ke berbagai negara. Pertama kali saya ke kraton yang menemukan salah sudutnya rusak, kemudian ke tengah yang porak poranda dan Candi Prambanan yang juga rusak," katanya. Budayawan Sindhunata yang memberikan pengantar pada pameran itu mengemukakan bahwa foto-foto Tarko juga mempertontonkan gambar-gambar yang berkenaan dengan ambruknya simbol-simbol kebudayaan akibat gempa. "Rumah joglo yang megah berantakan menjadi puing-puing belaka. Semar, hasil karya perajin gerabah di kasongan bergulingan dan tubuhnya patah," katanya. Tentu saja, menurut Sindhu, runtuhnya simbol-simbol itu menyedihkan bagi orang Jawa. Robohnya Semar menyiratkan bahwa orang Jawa ditinggalkan pamongnya, ditinggalkan pengayomnya dalam melakoni kehidupan. Demikian juga runtuhnya rumah joglo yang melambangkan runtuhnya kebudayaan Jawa. Semua kerusakan itu seolah-olah memberikan pesan bahwa gempa terjadi karena orang Jawa meninggalkan budayanya. Tarko melanjutkan bahwa ia kemudian memotret upaya masyarakat Yogyakarta untuk segera bangkit dari keterpurukan akibat gempa. Meskipun ada sebagian warga yang meminta-minta, namun secara umum mereka menampilkan daya hidupnya yang tinggi. "Namun sebagian lagi ada yang protes karena Wapres Jusuf Kalla yang waktu datang menemui warga berjanji memberikan bantuan setiap rumah Rp30 juta. Pada kenyataannya, warga yang rumah rusak parah hanya menerima ganti rugi Rp15 juta," katanya. Aksi protes khas orang Yogyakarta itu diabadikan Tarko dalam foto seseorang dengan perut gendut bertelanjang dada dan membesarkan perutnya sehingga menjadi tertawaan polisi yang menjaga aksi itu. Itulah protes khas Yogyakarta dengan dibungkus dalam ekspresi seni yang halus. Setelah terjadi gempa dengan berbagai kerugian, manusia akhirnya sadar bahwa tidak ada tempat untuk mengadu, kecuali kembali, yang dalam Bahasa Tarko, adalah, "Akhirnya ke Sana". Mereka mengekspresikan itu dalam doa, salat dan lainnya. Di antara ekspresi kembali kepada-Nya itu adalah foto Mbah Marijan, `juru kunci` Genung Semeru yang saat itu mengungsi di lereng Merapi. Dengan menggunakan ikat kepala, Mbah Marijan mengatupkan kedua tangan yang kedua jempolnya disentuhkan ke bawah hidung untuk berdoa. "Akhirnya gempa menggugah kembali harapan manusia, yang di kala normal tak pernah muncul keluar. Dan ketika harapan itu diungkapkan, Tuhan seakan muncul di tengah-tengah reruntuhan," kata Sindhunata. Pada pameran itu, Tarko yang karyanya dimuat dalam buku, "Yogya in my Mind" mengaku sengaja membawa karya yang lebih lembut karena masyarakat dinilai sudah bosan dengan gambar-gambar "keras" yang tidak mengenakkan bagi yang melihat. "Saya sendiri sudah muak dengan foto-foto keras dan tidak tega juga melihatnya. Kita semua sudah jenuh dengan foto-foto keras dan itu sudah banyak tampil di media massa," kata Tarko yang meraih medali emas dalam Salon Foto Indonesia itu. Pada pameran itu, Tarko lebih banyak menampilkan peristiwa meletusnya Gunung Merapi dan gempa Yogyakarta tahun 2006. Untuk melengkapi, ia juga membawa foto-foto muatan lokal Jatim, yakni Gunung Kelud, Semeru dan peristiwa lumpur Lapindo. "Saya diingatkan oleh teman-teman agar pameran ini juga dilengkapi dengan muatan lokalnya. Tapi meskipun pelengkap, foto lokal itu tidak berarti dipaksakan karena saya potret sejak lama sekitar setahun lalu, kecuali yang Gunung Kelud," katanya. Fotografer Surabaya, Lendy Widayana mengemukakan bahwa sebagai sesama fotografer yang besar di Jawa, ia memiliki perhatian sama pada simbol-simbol yang menjadi keyakinan sebagian besar orang Jawa. "Saya juga pernah menampilkan karya yang sama pada pameran setahun lalu di Galeri Orasis ini dengan objek gempa Yogyakarta juga. Obyek yang sama itu adalah, lambang Pancasila yang runtuh dan berserakan," katanya.(*)
Pewarta: Oleh Masuki M Astro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007