Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pertimbangan putusannya menjelaskan, ketentuan batas waktu paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat bertujuan untuk melindungi kemurnian suara pemilih.
Aturan tersebut dinilai Mahkamah tidak dapat dimaknai telah menghilangkan hak masyarakat untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi berkenaan dengan prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu.
"Hal demikian hanyalah menunda sesaat hak dimaksud demi alasan yang jauh lebih mendasar yaitu melindungi kemurnian suara pemilih," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.
Penundaan tersebut harus dilaksanakan mengingat beberapa wilayah di Indonesia belum selesai melaksanakan pemungutan suara, karena wilayah Indonesia terbagi dalam tiga zona waktu yaitu: Waktu Indonesia bagian Timur (WIT), Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia bagian Barat (WIB).
"Dengan demikian penyelenggaraan pemilu di Indonesia bagian timur lebih cepat dua jam daripada di Indonesia bagian barat. Demikian pula dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia bagian tengah lebih cepat satu jam daripada di Indonesia bagian barat," jelas Palguna.
Lebih lanjut Palguna menjelaskan bila hasil penghitungan cepat di wilayah WIT diumumkan sementara wilayah WIB belum selesai melaksanakan pemungutan suara, maka hal ini berpotensi mempengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis “sekadar” ingin menjadi bagian dari pemenang.
"Apalagi karena kemajuan teknologi informasi hasil penghitungan cepat dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, dan berpotensi mempengaruhi pilihan sebagian pemilih," ujar Palguna.
Oleh sebab itu Mahkamah menegaskan pentingnya penyelenggaraan pemilu yang sesuai dengan asas dalam Pasal 22E UUD 1945, bahwa kemurnian suara pemilih harus tetap dijaga karena pemungutan suaranya belum selesai dilaksanakan secara keseluruhan.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019