Jakarta (ANTARA News) - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada pekan depan masih berpeluang mengalami koreksi. "Pasar berpotensi terjadi koreksi karena situasi global yang belum stabil," kata Analis Riset PT Panin Capital, Luki Aryatama, kepada ANTARA di Jakarta, akhir pekan ini. Menurut Luki, perdagangan saham di BEJ masih akan mengikuti arah bursa global, terutama bursa AS di Wall Street dan kawasan Asia. Namun, lanjutnya, kenaikan harga komoditi masih dapat mendorong indeks BEJ untuk tetap bergerak positif. "Walaupun harga saham tambang sudah tinggi, namun harga komoditi masih bisa tetap menjadi pendorong indeks" jelasnya. Selain itu, tambah Luki, kinerja emiten kuartal ketiga juga masih bisa menjadi pendorong indeks BEJ. "Namun tergantung sentimen. Seperti sektor keuangan yang kinerjanya bagus, namun sentimen lagi jelek sehingga masih tertekan harganya," tegas Luki. Kemungkinan indeks untuk bergerak dua arah seperti pada pekan ini juga cukup besar karena pengaruh sentimen di atas. Pada pekan ini IHSG ditutup di 2.707,667 atau sedikit mengalami penurunan sebesar 2,950 poin (0,10 persen) dibanding penutupan pada pekan sebelumnya di 2.710,617. Sedangkan indeks LQ45 kelompok 45 saham unggulan ditutup menguat 2,575 poin (0,43 persen) menjadi 598,761 dibanding pada pekan sebelumnya yang berada di posisi 596,186. Pergerakan indeks BEJ pada pekan ini bergerak `mix` (bervariasi) karena indeks BEJ lebih mengikuti pergerakan bursa global, yakni bursa AS dan regional. Kepanikan pasar saham global terhadap harga minyak yang hampir menyentuh 100 dolar AS per barel menjadi pemicu terkoreksinya indeks BEJ. Namun, harga minyak ini juga menjadi pendorong harga komoditi untuk terus naik, sehingga harga saham sektor pertambangan terus menguat dan mendorong indeks BEJ untuk mencatakan rekor tertinggi baru di level 2.713,978 pada Rabu (7/11). Menurut Analis Riset PT Valbury Asia Securities Krisna Dwi Setiawan, harga minyak ini tergantung `mood` pelaku pasar untuk dibawa ke mana. "Tergantung `mood` pasar, bisa sebagai sentimen negatif, namun juga bisa menjadi sentimen positif," katanya. Selain itu, kebijakan Bank Indonesia untuk mempertahankan BI-rate di level 8,25 persen sesuai perkiraan pasar, sehingga menjadi pendorong indeks BEJ untuk menciptakan rekor terbarunya kembali. Namun, harga minyak, inflasi, bursa global dan nilai tukar mata uang masih menjadi sentimen negatif pasar saham, sehingga indeks BEJ bergerak dua arah dalam pekan ini. (*)
Copyright © ANTARA 2007