Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah pada pekan depan diperkirakan masih dalam kisaran antara Rp9.100 hingga Rp9.150 per dolar AS, karena pelaku pasar bersikap hati-hati. "Rupiah berada dalam kisaran yang ketat antara Rp9.100 sampai Rp9.150 per dolar AS, karena antara isu positif dan negatif di pasar cenderung berimbang," kata Analis Valas PT Bank Saudara, Rully Nova di Jakarta, akhir pekan ini. Ia mengatakan kekhawatiran atas gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia telah menekan rupiah terhadap dolar AS sempat merosot hingga mendekati level Rp9.200 per dolar AS, meski mata uang asing itu terhadap mata uang utama Asia cenderung melemah. Pelaku pasar mempunyai persepsi sendiri terhadap gejolak kenaikan harga minyak mentah itu, meski di dalam negeri banyak dana asing yang masuk ke pasar domestik, katanya. Pelaku pasar, lanjut Rully Nova, tampaknya lebih cenderung membeli dolar AS ketimbang rupiah. Namun kuatnya investasi asing ke pasar domestik akhirnya memicu pergerakan rupiah kembali menguat hingga mendekati level Rp9.100 per dolar AS. "Kami optimis rupiah masih stabil dalam kisaran yang tidak melebar, apalagi Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga acuan pada 8,25 persen," katanya. Rupiah, menurut dia, juga akan mendapat dukungan eksternal dari bank sentral AS (The Fed) yang pada akhir bulan ini akan kembali menurunkan suku bunga Fedfund yang mencapai 4,50 persen. Federal Reserve AS sebelumnya telah menurunkan dua kali suku bunga Fedfund dari 5,25 persen menjadi 4,50 persen. "Apabila The Fed kembali menurunkan bunga Fedfund, rupiah akan kembali menguat yang mendorongnya berada di level Rp9.000 per dolar AS, meski memerlukan waktu yang lama," katanya. Ia mengatakan, rupiah seharusnya menguat hingga di bawah level Rp9.000 per dolar AS dalam upaya menahan laju inflasi yang cenderung meningkat. "Karena dengan menguatnya rupiah, maka biaya impor akan lebih murah sehingga mengimbangi kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus menguat," ucapnya. Menurut dia, pemerintah lebih baik mengurangi biaya subsidi hingga nol persen, sehingga tidak membebani APBN dan rupiah pun tidak akan tertekan lebih jauh. (*)

Copyright © ANTARA 2007