"Klarifikasi berita hoaks itu tujuh kali lebih lambat dibanding berita hoaksnya," kata Ketua Umum GNLD Siberkreasi Dedy Permadi di Jakarta, Senin.
"Imunisasi" dari wabah hoaks, kata dia, bisa dilakukan dalam tiga cara sederhana, yakni pertama senantiasa baca, pelajari, dan respons (baper) saat menerima informasi, baik di media sosial maupun perpesanan instan.
Kedua, apabila ragu ketika menemui sepotong informasi, diimbau melakukan pengecekan melalui situs cek fakta yang terpercaya, chatbot verifikasi lewat akun telegram resmi Kemenkominfo.
Bisa juga, lanjut dia, mengecek melalui sumber terpercaya lain, seperti media massa yang sudah mendapatkan verifikasi dari Dewan Pers.
Langkah ketiga, kata Dedy, meningkatkan literasi digital bagi seluruh masyarakat sebagai solusi penanganan konten negatif.
Ketua Umum Parfi 56 Marcella Zalianty mengingatkan bahwa perbedaan merupakan kekayaan bangsa Indonesia sehingga rasa persaudaraan harus tetap tersemai dan terpelihara.
"Jangan karena beda pendapat, beda pikiran, beda pilihan, membuat seperti bukan saudara," katanya.
Marcella mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama memberikan jaminan bahwa kerukunan sebagai bangsa dan persaudaraan tetap terjaga setelah berlangsungnya pemilu.
"Kami menyerukan seluruh saudara dari Sabang sampai Merauke. Jaga perdamaian. Rakyat jangan terpecah belah," katanya.
Sementara itu, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengakui hoaks tidak hanya mengubah kesehatan mental dan pola pikir, tetapi juga membuat ketidakpercayaan terhadap proses yang sedang dibangun.
"Cara terbaik mengatasi hoaks adalah memenuhi dunia medsos, dunia percakapan dengan hal-hal baik. Bagaimana bisa mengajak masyarakat datang (memilih), mengajak agar orang tahu siapa yang dipilih," katanya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis, M Arief Iskandar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019