Beijing (ANTARA) - Satu hingga dua jam menjelang penutupan tempat pemungutan suara (TPS) pemilihan umum bagi warga negara Indonesia di luar negeri merupakan masa-masa yang sangat kritis.
Jika situasi tersebut tidak segera diatasi dengan langkah-langkah yang tepat dan cermat, maka bisa saja berbuntut kericuhan yang mengarah pada delegitimasi penyelenggaraan pemungutan suara.
Dalam konteks pemungutan suara, para pemilih terbagi menjadi tiga kategori, yakni Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
DPT diperoleh Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) sejak April 2018, baik melalui pencocokan dan penelitian Daftar Pemilih Sementara (DPS) maupun pendaftaran pemilih baru.
Mereka bisa mendapatkan surat suara dengan berbekal formulir C-6 atau surat pemberitahuan tentang pemungutan suara dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kepada pemilih.
Sedangkan DPTb didapat dari pendaftaran baru yang dibuka pada sekitar bulan November dan berakhir pada Desember 2018. Untuk bisa mencoblos, mereka ini harus membawa formulir C-6 atau bisa juga formulir A-5 yang berisi keterangan pindah TPS.
Sementara DPK adalah pemilih yang namanya sama sekali tidak terdaftar, baik di DPT maupun DPTb.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa DPK hanya bisa memilih satu jam menjelang TPS ditutup. Kalau di luar negeri berarti DPK mulai bisa memilih pada pukul 17.00 dengan berbekal KTP elektronik, paspor, atau identitas lainnya yang dianggap sah.
Itu saja tidak cukup karena DPK baru bisa mencoblos selama surat suara masih tersedia karena dua persen surat cadangan yang dialokasikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI belum tentu mencukupi kebutuhan seluruh DPK.
Nah, di sinilah persoalan itu biasanya timbul. Apalagi bagi mereka yang sudah antre berjam-jam tapi tidak mendapatkan surat suara.
Cacian, sumpah-serapah, hingga memviralkannya di media sosial kerap kali ditujukan kepada para perangkat pemungutan suara pada saat-saat kritis itu.
Kalau saja, komunikasi yang dibangun oleh pihak penyelenggara pemungutan suara dan adanya saling pengertian dari WNI yang masuk dalam DPK, insiden-insiden kericuhan di Hong Kong, Taiwan, dan beberapa negara lain seperti digambarkan di media-media sosial tidak akan terjadi.
Sebenarnya DPK itu sangat menyadari kemungkinan kegagalan mendapatkan surat suara yang jumlahnya sangat terbatas itu lantaran tidak mendaftar sejak dari awal, seperti para pemilih yang masuk kategori DPT dan DPTb tadi.
Tentu, penyelenggara pemungutan suara juga tidak akan berisiko melanggar peraturan perundang-undangan dengan memberikan surat suara kepada DPK yang menjadi jatah DPT atau DPTb meskipun kedua pemilih ini datang belakangan.
Mengharu Biru
Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) Beijing sempat tegang saat harus menghadapi gelombang DPK yang tiba-tiba mengular di halaman Kedutaan Besar RI setempat pada Minggu, 14 April 2019, pukul 15.30.
Padahal sejak pemungutan suara dibuka pukul 08.00 waktu setempat (07.00 WIB), suasana di halaman KBRI Beijing biasa-biasa saja kalau tidak disebut sepi.
Gelombang DPK yang datang secara tiba-tiba itu ternyata bukan saja kalangan mahasiswa baru dari Indonesia yang mulai belajar pada awal bulan Maret 2019 sehingga tidak masuk dalam DPT atau DPTb melainkan juga traveller yang membawa formulir A-5 dari Indonesia tanpa melapor ke PPLN Beijing sebelumnya.
Bahkan, sekitar 10 kru maskapai penerbangan dari Indonesia yang mengaku tidak memiliki kesempatan mencoblos di Indonesia pada 17 April 2019 karena tugas, juga termasuk dalam gelombang pendatang baru tersebut.
PPLN mengupayakan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bertugas di dua TPS di halaman samping KBRI Beijing tetap dapat bertugas dengan tenang tanpa terpengaruh situasi di halaman depan.
Tenaga KPPSLN metode pos yang jumlahnya sebanyak 15 orang yang pada saat itu tidak bertugas di TPS dikerahkan untuk membentengi dua tenda putih tempat berlangsungnya pemungutan suara agar tetap aman jika sewaktu-waktu situasi tidak terkendali.
Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun sampai-sampai harus turun ke tengah antrean massa untuk melakukan pendekatan persuasif agar suasana yang saat itu sudah sangat menegangkan dapat terkendali.
"Kalau ada yang suka nyanyi, ayo naik ke panggung. Biar tidak stres mengantre, makan-makan atau minum-minum dulu," ujarnya sambil mempersilakan WNI yang ingin menyumbangkan lagu di atas panggung hiburan dan bazaar makanan dan minuman di halaman samping KBRI.
Ketua PPLN Beijing Oei Edy Susanto melalui pelantang juga berkali-kali mengumumkan bahwa DPK yang masuk dalam antrean tidak pasti bisa mencoblos karena tergantung ketersediaan surat suara.
Pada saat anggota PPLN lain berkoordinasi dengan sekretaris menghitung ketersediaan surat suara sisa termasuk dengan memperhitungkan DPT atau DPTb yang datang pada menit-menit akhir, petugas KPPSLN mulai membagikan nomor antrean kepada DPK dengan terlebih memotret halaman paspor atau kartu identitas lainnya.
Tepat pukul enam sore, pintu gerbang utama KBRI ditutup untuk menjalankan amanat UU No 17 Tahun 2017.
Kecermatan dalam menghadapi segala kemungkinan sekaligus kemampuan memperkirakan ketersediaan surat suara menjadi faktor mutlak yang dibutuhkan oleh penyelenggara pemungutan suara.
Pemungutan suara di KBRI Beijing tidak hanya berjalan mulus, melainkan juga tingginya tingkat partisipasi pemilih yang mencapai 92-93 persen. Jauh melampaui target KPU-RI yang hanya 70 persen dan pencapaian Pemilu 2014 di Beijing yang kurang dari 25 persen.
Suasana yang menegangkan berubah mengharu biru saat Dubes mengumpulkan semua perangkat penyelenggara Pemilu 2019 dan staf KBRI Beijing di dalam tenda TPS beberapa menit setelah pemilih terakhir DPK mencoblos surat suara tersisa pada malam yang dingin itu.
"Tanah Airku Indonesia, negeri elok amat kucinta, Tanah tumpah darahku yang mulia, yang kupuja sepanjang masa....," demikian potongan lirik Rayuan Kelapa yang dinyanyikan bersama-sama di dalam tenda berwarna putih itu menutup rangkaian pemungutan suara.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019