Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Marinus Gea meminta kepala desa atau lurah agar berperan aktif untuk meningkatkan pengawasan pengiriman TKI ke luar negeri.

"Mereka harus tahu warganya ini mau ke mana, apa standarnya. Apalagi dalam UU PMI yang baru sebenarnya perekrutan itu harus diketahui oleh kepala desa," kata Marinus dalam siaran pers, Jakarta, Senin (15/4).

Hal ini penting untuk meminimalisir praktik kongkalikong yang diduga kerap terjadi pada proses pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran.

Harapan ini disampaikan Marinus berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pasal 13 huruf b UU terkait menyatakan untuk dapat ditempatkan di luar negeri, pekerja migran Indonesia wajib memiliki surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah.

Namun untuk melibatkan kepala desa, menurut dia, tetap dibutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) sehingga hal-hal yang menyangkut keterlibatan kepala desa dapat diatur lebih rinci.

"Bahkan bisa saja nantinya diberikan kewenangan pada (kades) untuk bisa melakukan pelatihan dulu di desanya, dengan syarat mengacu pada peraturan ketenagakerjaan," kata anggota DPR Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Menurut dia, pelibatan kepala desa diperlukan dalam pengawasan pengiriman TKI karena bila pengiriman TKI hanya mengandalkan lembaga pengawas, diyakininya hasilnya tidak akan maksimal.

"Jadi harus melibatkan masyarakat secara sistem. Jika tidak, tidak akan maksimal pengawasannya," katanya seraya mencontohkan maraknya pekerja ilegal yang dengan mudah bisa keluar negeri saat ini.

Hal itu, menurut dia, terjadi karena tidak adanya sistem pengawasan secara menyeluruh.

"Tidak ada pengawasan dan kontrol ketat sedari awal. Selama ini main comot saja. Yang penting (calon tenaga kerja) bawa ke Jakarta, urus paspor, urus visa, berangkat, selesai urusan. Sedangkan di UU yang baru mengatur izin dari aparatur desa itu," kata Marinus.

Selain itu, Marinus juga menginginkan agar Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat memastikan pekerja migran yang dikirimnya sudah tersertifikasi sesuai standar dalam regulasi dan standar negara tujuan.

"Tidak boleh lagi meloloskan yang seharusnya tidak lolos untuk berangkat," katanya.

Senada, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Alwi mengatakan, baik kepala desa maupun perangkat desa lainnya wajib memberikan informasi lengkap kepada calon TKI. Hal ini sebagaimana tertulis dalam UU tentang Pelindungan PMI.

Namun Bobby menjelaskan saat ini kewajiban tersebut belum dapat dilaksanakan karena peraturan implementasi dari UU yang disahkan pada 22 November 2017 tersebut belum terbit.

"Bisa dibilang saat ini keterlibatan desa dalam perekrutan TKI masih dalam masa transisi. Karena belum terbit (aturan), kepala desa belum maksimal menyelenggarakan layanan informasi, pendataan, verifikasi, pemantauan buruh migran yang sudah direkrut dan pemberdayaan," ujar Bobby.

Menurut dia, sudah banyak desa yang didorong Kementerian Ketenagakerjaan untuk menyelenggarakan program Desa Buruh Migran Produktif (Desmigratif).

Beberapa pilar utama dalam program tersebut adalah layanan informasi, komunitas usaha buruh migran, community parenting, dan koperasi. Hanya saja program tersebut baru sebatas proyek uji coba.

Namun, Bobby melihat, perbedaan sudut pandang antara Kemenaker dan kepala desa menjadi salah satu hambatan program Desmigratif.

Dari sejumlah desa yang menerapkan program desmigratif, sebagian besar kepala desa memandang ini sebagai proyek semata. Padahal, keberadaan program Desmigratif seharusnya untuk mendorong layanan buruh migran di tingkat desa.

"Karena dengan program tersebut sebenarnya pemerintah pusat bisa memperkenalkan UU baru ke tingkat desa," kata Bobby.

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019