Kepala BPS Suhariyanto dalam paparan di Jakarta, Senin, menyatakan, peningkatan ekspor nonmigas Maret 2019 jika dibandingkan dengan Februari 2019 terjadi ke semua negara tujuan.
Ke-13 sasaran tujuan utama tersebut adalah China, Jepang, Taiwan, Amerika Serikat, India, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Italia, Belanda, Australia, Jerman, dan Singapura.
Peningkatan ekspor nonmigas itu antara lain ke China adalah sebesar 437,2 juta dolar AS atau meningkat 28,47 persen, ke Jepang sebesar 139,8 juta dolar AS atau naik 13,52 persen, ke Taiwan sebesar 118,9 juta dolar AS atau naik 55,77 persen, dan ke Amerika Serikat sebesar 107,7 juta dolar AS atau naik 28,47 persen.
Peningkatan lain adalah ke India sebesar 98,9 juta dolar AS atau naik 10,37 persen, ke Korea Selatan sebesar 45 juta dolar AS atau naik 8,21 persen, ke Thailand sebesar 25,6 juta dolar AS atau naik 5,73 persen, ke Malaysia sebesar 24,1 juta dolar AS, ke Italia sebesar 18,4 juta dolar AS atau naik 17,56 persen.
Selanjutnya, peningkatan ke Belanda sebesar 13,5 juta dolar AS atau naik 5,24 persen, ke Australia sebesar 11,6 juta dolar AS atau naik 8,51 persen, ke Jerman sebesar 11,1 juta dolar AS atau naik 6,54 persen, dan ke Singapura sebesar 4,8 juta dolar AS atau naik 0,72 persen.
Sementara pada Maret 2019 , ekspor nonmigas Indonesia ke China, Amerika Serikat, dan Jepang masing-masing mencapai 1,97 miliar dolar AS, 1,38 miliar dolar AS, dan 1,17 miliar dolar AS, dengan peranan ketiganya secara keseluruhan mencapai 35 persen terhadap ekspor nonmigas Indonesia pada periode Maret 2019.
Pada periode Januari-Maret 2019, China tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai 5,23 miliar dolar AS (14,12 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai 4,16 miliar dolar AS (11,23 persen), dan ke Jepang dengan nilai 3,4 miliar dolar AS (9,18 persen).
"Komoditas utama yang diekspor ke Tiongkok pada periode tersebut adalah lignit, besi/baja, dan minyak kelapa sawit," katanya.
Sebelumnya, Indonesia for Global Justice (IGJ) mengkritik strategi pemerintah yang ingin menyasar pasar ekspor nontradisional sementara pasar utama dunia tidak bisa digarap dengan optimal.
"Pasar-pasar dunia tidak kita kerjakan dengan serius tapi mau buka pasar baru. Logikanya kalau pasar besar itu sudah optimal kita kerjakan, kita bisa sasar pasar baru sebagai ekspansi atau diversifikasi arah," kata Research Associate IGJ Hafidz Arfandi dalam diskusi Policy Center ILUNI UI di Jakarta, Kamis (11/4).
Hafidz menuturkan pasar baru seperti Amerika Serikat, Uni Eropa atau Australia merupakan pasar besar utama yang seharusnya bisa digarap dengan baik. Namun, impor ketiga pasar itu dari Asia justru sangat rendah.
Indonesia pun, lanjut dia, masih kalah jauh dari Thailand, Malaysia dan Vietnam untuk bisa mengekspor ke Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia."Kalau pasar yang besar saja kita kalah, kemudian kita mau bertarung dengan negara-negara di wilayah yang postur ekonominya relatif kecil, ini bahaya karena persaingan juga akan sama," ungkapnya.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019