Semarang (ANTARA News) - Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pramono Anung menegaskan, Presiden Megawati Soekarnoputri (kala itu) tidak setuju penjualan kapal tanker VLCC (very large crude carrier) Pertamina, karena itu tuduhan mengada-ada bila Laksamana Sukardi menyatakan Megawati ikut bertanggung jawab dalam penjualan tanker ini. "Kalau Presiden Megawati (kala itu) menyetujui penjualan VLCC, tentu ada persetujuan Sidang Kabinet dan harus hitam putih. Ini bukan masalah tingkat RT atau RW," kata Pramono usai menghadiri pelantikan pengurus DPD Baitul Muslimin Indonesia dan Banteng Muda Indonesia Jateng di Semarang, Sabtu. Ketika memberi sambutan di acara itu, Pramono juga mengatakan, Presiden Megawati kala itu melarang penjualan tanker VLCC. Laksamana kala itu dipercaya Presiden Megawati menjabat sebagai Meneg BUMN sekaligus Komisaris Utama Pertamina. Kasus VLCC bermula ketika PT Pertamina membeli dua unit VLCC dari Hyundai Heavy Industries di Ulsan, Korea Selatan, pada 2002, dengan harga 65 juta dollar AS. Dengan alasan kesulitan likuiditas, belakangan direksi baru Pertamina menjual dua kapal itu kepada Frontline Ltd. dengan harga 184 juta dollar AS juta pada April 2004 tanpa seizin Menteri Keuangan. Pramono menegaskan, jika Presiden Megawati saat itu menyetujui penjualan VLCC, tentu ada keputusan dari Sidang Kabinet dan persetujuan Menkeu, namun hal itu tidak ada. Tetapi bagi PDIP, menurut Pramono Anung, masalah Laks (sapaan Laksamana Sukardi) bukan persoalan serius. "PDIP tidak ingin memperkeruh masalah dan PDIP juga tidak ingin dibawa-bawa dalam kasus ini," katanya. Pramono menilai, ada semacam keinginan dari Laksamana untuk berlindung dengan membawa-bawa nama Megawati dalam kasus tersebut. Ia juga mengatakan bahwa sejak kasus tanker VLCC dibawa ke Pansus, sikap PDIP sudah jelas dan tegas yakni mendorong penyelesaian hukum terhadap segala hal yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. "Jaksa Agung Hendarman Supandji sendiri sudah mengatakan bahwa masalah ini tidak perlu membawa-bawa nama Ibu Megawati," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007