"Pertumbuhan ekonomi berkualitas, salah satu kuncinya adalah memikirkan inklusivitas sosial," kata Suhariyanto di Jakarta, Senin.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan, inklusivitas sosial atau memastikan seluruh warga mendapatkan layanan kesehatan yang memadai dan pendidikan yang tinggi penting untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas.
"Pertumbuhan ekonomi berkualitas, salah satu kuncinya adalah memikirkan inklusivitas sosial," kata Suhariyanto di Jakarta, Senin.
Menurut dia, inklusivitas sosial adalah dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada berbagai kalangan masyarakat terutama rakyat kecil di pedesaan dan daerah-daerah termarjinalkan untuk mengecap pendidikan setinggi-tingginya dan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
BPS juga telah merilis bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2018 ini mencapai 71,39, meningkat 0,58 poin atau tumbuh 0,82 persen dibandingkan dengan 2017.
Peningkatan itu antara lain tercatat dari umur harapan hidup saat lahir yang meningkat dari 69,81 tahun pada 2010 menjadi 71,20 tahun pada 2018.
Sementara itu, rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas di Indonesia tumbuh 1,14 persen per tahun selama periode 2010-2018, sehingga pada 2018, secara rata-rata penduduk Indonesia usia 25 tahun ke atas mencapai 8,17 tahun, atau telah menyelesaikan pendidikan hingga kelas IX.
Selain itu, pada 2018, pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia mencapai Rp11,06 juta per tahun. Selama delapan tahun terakhir, pengeluaran per kapita meningkat sebesar 2 persen per tahun.
Secara terpisah, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya mengatakan Indonesia perlu tumbuh di atas lima persen untuk bisa keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.
Dalam diskusi Policy Center ILUNI UI di Jakarta, Kamis (11/4), Berly mengatakan meski kondisi global mengalami pelambatan belakangan ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat terus menurun sejak 2011 dengan tertinggi 6,5 persen, karena impor yang menurun.
"Impor kita terus menurun karena sebagian besar dari barang tambang, sawit, dan karet, yang harganya tergantung global. Ini kurang sehat," katanya.
Menurut dia, untuk menjaga kestabilan ekonomi dibutuhkan sektor yang berkelanjutan seperti manufaktur yang menjadi motor pertumbuhan di Asia Timur.
Sayangnya, Indonesia masih terkendala pada kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk bisa meningkatkan industri manufaktur. Sementara Vietnam dan Filipina mulai menyusul ekonomi Indonesia dengan mengembangkan industri manufaktur yang berorientasi pada keahlian SDM.
"Kita sudah tidak bisa adu murah. Negara lain rela membayar lebih mahal kalau kualitasnya lebih baik," katanya.
Oleh karena itu, Berly menekankan perlunya mendorong daya saing sektor manufaktur Indonesia yang dinilainya masih akan menjadi pendukung utama ekonomi Indonesia ke depan.
Menurut dia, manufaktur menjadi pilihan karena Indonesia masih butuh waktu untuk beralih dari industri berbasis bahan baku menjadi negara penghasil sektor jasa seperti Singapura.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019