"Dalam aturan berlalu lintas, maka pelanggarannya harus diatur dalam UU, jangan dengan peraturan peraturan lainnya. Jika mau menertibkannya seharusnya dibuat revisi UU dan Perda," kata Erdianto di Pekanbaru, Senin.
Pendapat itu terkait terbitnya Permenhub RI No. 12 tahun 2019 pasal 6 tentang perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor, disertai sanksi denda Rp750 ribu dan pengemudi dilarang merokok dan melakukan aktivitas lain yang mengganggu konsentrasi ketika sedang mengendarai sepeda motor.
Menurut Erdianto terbitnya Permenhub RI No. 12 tahun 2019 pasal 6 tersebut harus dilihat apakah denda tersebut sanksi administratif atau sanksi pidana.
Kalau sebagai sanksi pidana, katanya, berdasarkan Permenhub tersebut tidak dibenarkan hanya dengan Permenhub. Sanksi pidana hanya dapat diatur dalam Undang-undang dan Perda. Peraturan perundangan lain tidak boleh memuat sanksi pidana.
"Namun secara umum, dalam aturan berlalu lintas, maka pelanggarannya harus diatur dalam UU jangan dengan peraturan-peraturan lainnya," katanya.
Ia menekankan, bahwa dirinya setuju larangan merokok pada saat berkendara karena mengganggu orang lain, menyebabkan pengemudi kurang hati-hati sehingga dapat membahayakan orang lain dan membahayakan dirinya sendiri.
Namun demikian, katanya menambahkan dalam berlalu lintas negara bertanggung jawab atas keselamatan warga negaranya, tapi seharusnya diatur dalam UU.
Sementara Permenhub diterbitkan karena aktivitas merokok dianggap mampu mengganggu konsentrasi berkendara sehingga peluang terjadinya kecelakaan di jalan menjadi lebih besar sebab pengemudi membagi konsentrasinya karena melakukan dua kegiatan fisik secara bersamaan.
Baca juga: Larangan merokok sambil berkendara disosialisasikan melalui VMS
Baca juga: Pakar: larangan merokok kendaraan bermotor sudah ada sejak 2009
Pewarta: Frislidia
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019