Jakarta (ANTARA News) - Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan pemerintah hingga kini belum menerima surat resmi dari DPR terkait rekomendasi Komisi II DPR mengenai Syamsul Bahri. "Semestinya setiap putusan resmi DPR selalu akan disertai dengan surat resmi yang ditujukan pimpinan DPR kepada Presiden," kata Hatta, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, menanggapi permintaan sejumlah anggota DPR agar Presiden secepatnya melantik Syamsul Bahri sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meski begitu Hatta berpendapat, kalaupun permintaan itu disampaikan kepada Kepala Negara, tentu tidak bisa dilanjutkan karena belum ada putusan hukum tetap kepada Syamsul Bahri yang saat ini sedang diperiksa Kejakasaan Negeri, Malang. "Sepanjang tidak ada sesuatu yang lain, maka harus demikian. Kecuali kalau ada putusan lain yang diambil DPR, bisa saja," katanya. Ia menandaskan dari sisi aturan hukum, Presiden pun tidak bisa begitu saja meresmikan Syamsul Bahri atau menggantikannya dengan kandidat berikutnya. Sebab berdasar UU tentang Penyelenggara Pemilu, kewenangan itu juga ada di pihak DPR. "Sesuai UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, tidak tersedia ruang bagi presiden lakukan evaluasi untuk angkat dan ambil inisiatif terkait masalah anggota KPU. Itu wewenang DPR," katanya. Ia juga menambahkan bahwa Presiden tidak bisa mengambil inisiatif. "Apa dasarnya? Pijakannya apa? Kan tidak ada," ujar Hatta. Terkait adanya kesan kasus Syamsul Bahri ibarat bola pingpong antara pemerintah dan DPR, Hatta menjelaskan, "Lempar bola apa? Kok lempar melempar. Semua dasarnya UU 22/2007," katanya. Kecuali kalau ada satu pasal saja mengatakan Presiden diberi kewenangan untuk mengambil tindakan, memverifikasi atau menolak usulan DPR, itu bisa lain," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007